Menimbang dua paslon pilkada Jatim, sangat menarik karena kedua pasangannya menggunakan kombinasi laki-laki perempuan. Keterwakilan mengenai jenis kelamin menjadi berimbang. Model nasionalis dan religius pun ada, dan kembali berimbang. Keduanya diusung oleh partai yang sama-sama militan tradisionalis dalam pola memilih, relatif sama juga jumlah partai pengusungnya. Menarik karena adanya "rivalitas" panjang khususnya antarcalon gubernur, dan selalu berseberangan. Pak Ipuld dan Bu Khofifah ini adalah kali ketika bersaing untuk menjadi punggawa Jatim. Bu Khofifah untuk ketiga kalinya mencoba meraih Jatim-1 sedangkan Pak Ipul untuk perdana. Namun bahwa keduanya pernah bertemu di dalam ajang yang sama tiga kali.
Kondisi yang melatarbelakangi banyak kesamaan. Sangat mungkin akan berlangsung dengan sengit. Pasangan Pak Ipul dan Bu Puti tentu dipahami memiliki basis massa yang cukup kuat antara PDI-P dan PKB. Pemilih dari kalangan NU juga akan banyak yang mengarah ke pasangan ini. Pengalaman sebagai wakil gubernur dua periode menjadi kekuatan tersendiri, mengenai dengan baik, seluk beluk pemerintahan, masalah, dan keadaan Jawa Timur. Apa yang selama ini tidak menjadi kapasitasnya untuk berbuat, bisa menjadi waktunya untuk membuktikan. Pasangan cawagub yang merupakan anggota DPR-Ri tentu memiliki banyak pengalaman untuk bisa berbuat baik.
Kekuatan lain dari kedua pasangan ini adalah menjualnya basis NU yang melatarbelakangi Gus Ipul dan darah atau trah Sukarno, melalui sang cucu, Bu Puti. Kekuatan yang lumayan bisa menjual di mana politik identitas masih lekat dan kental di dalam berdemokrasi kita. Sangat dipahami jika menjual dengan sentimen kedua hal ini. Sangat biasa di dalam berdemokrasi bangsa ini.
Usia keduanya masih relatif cukup muda, sehingga ide kreatif dan gagasan yang segar bisa diharapkan dari sinergi keduanya. Halangan psikologis dari "pemaksaan" pasangan dari parpol juga relatif kecil, sehingga bisa mengimbangi usia mereka untuk bisa bekerja keras demi Jawa Timur yang lebih baik.
Potensi hal yang kurang dari keduanya adalah, Pak Ipul yang belum teruji sebagai orang nomor satu, sedangkan sebagai nomor dua dalam dua kesempatan juga belum memperlihatkan hal yang fenomenal dan menjanjikan. Pada sisi Bu Puti pun demikian. Belum terdengar kiprahnya yang sangat bisa menunjukkan kualitas dan kapasitasnya.
Pasangan Bu Kofifah dan Pak Dardak. Dua pasangan muda dan sarat pengalaman, jaminan sinergi sangat diharapkan dengan meledak-ledaknya darah muda dan ada penahan dari pengalaman Bu Khofifah bisa menjadi energi besar untuk mereka berdua. Dukungan parpol yang cukup memiliki basis massa dan cukup fanatis untuk bisa mendukung mereka.
Pengalaman Bu Kofifah di kementrian sosial dan sekian lama di Jawa Timur tentunya bisa banyak membantu pengenalan keprihatinan tentang Jatim. Tiga kali ikut pilkada tentu bukan main-main apa yang dijadikan motivasi untuk itu. Sisi lain, Pak Dardak sebagai bupati di salah satu kabupaten di Jawa Timur jelas mengetahui dengan baik keprihatinan dan apa yang perlu dilakukan. Pengalaman birokrasi yang cukup wajar bisa berbuat banyak.
Basis massa NU jelas bisa menjadi harapan pasangan ini, di mana Bu Kofifah aktivis, dan keyakinan pemilih perempuan lebih ke pasangan ini karena jauh lebih mengenal dan familier untuk pemilih Jawa Timur. Harapan besar untuk pasangan ini dari sisi pemilih ini.
Beberapa hal yang patut menjadi pemikiran adalah, motivasi Bu Kofifah yang bisa dikatakan lucu, bagaimana tidak, ketika menteri malah mundur demi gubernur. Rasa penasaran yang sangat wajar, di mana tentu paham kalau dulu sebenarnya menang. Sisi lain, bupati pun diambil dari partai yang bisa menimbulkan ketegangan psikologis politis. Dua hal yang sangat kuat terasa dan perlu disadari.
Salah satu kelemahan lainnya adalah keberadaan Demokrat. Merekalah pelaku masa lalu yang membuat Bu Kofifah kalah dan kini tinggal masa lalu. Susah untuk menjadi jaminan mendulang suara. Daerah Mataraman pun sudah tidak lagi bisa diyakini akan menjadi lumbung pasangan ini.
Calon wakil gubernur pun belum memberikan efek luar biasa bagi daerah yang dipimpin. Masih lebih banyak bupati yang lebih memiliki reputasi dan waktu karya yang lebih lama dan jelas. Belum teruji betul. Meskipun pemilih bisa juga menilai bahwa hal itu bisa tertutupi dengan pengalaman sang calon gubernur.