Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Permisifnya Dunia Pendidikan Kita

Diperbarui: 9 Januari 2018   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.goodnewsfromindonesia.id

Permisifnya dunia pendidikan kita, sebuah ironi, ketika pendidikan itu perlu disiplin dan kadang tegas tanpa kompromi, namun di sana-sini baik langsung atau tidak langsung sikap permisif itu terjadi. tidak heran jika keberadaan pendidikan kita tidak banyak membantu dan menolong untuk bisa memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik. Apa yang diperoleh dari dunia pendidikan tidak mendukung perubahan sikap, malah kadang memperkeruh keadaan yang ada.

Pembiasaan itu terus menerus...

Pendidikan yang mendasar itu salah satunya adalah konsistensi dan kontinuitas. Pendidikan yang dilakukan terus menerus. Adanya celah untuk mundur atau melenceng, membuat pendidikan bisa kehilangan daya didik, daya ajar, dan hasil akhir sebagaimana yang diinginkan. Kedisiplinan  perlu dimulai dari sistem dulu yang jelas, kemudian guru dan tenaga kependidikan yang secara langsung berdinamika bersama peserta didik. 

Bahwa dinas dan seluruh perangkatnya itu penting iya, namun mereka hanya urusan administrasi dan bukan teknis, yang selama ini justru lebih memiliki peran, karena unsur luar pendidikan masuk di sana, soal politik misalnya. Semua tentu paham kalau jabatan bahkan hingga kepela sekolah itu jabatan molitis karena otonomi daerah yang amburadul itu.

Permisif menghianati itu semua...

Sikap permisif dan menoleransi perbuatan yang melenceng sedikit saja, merusak semua bangunan yang sudah dicoba dan dilakukan. Penghianatan bagi semua proses pendidikan yang seharusnya terus menerus itu. Hal ini bukan masalah yang sepele, karena masa depan bangsa dan negara ada di tangan generasi muda yang berproses dalam pendidikan. Keberadaan pendidikan yang mudah memaafkan  dalam hal-hal yang kecil namun prinsip, siap-siap saja nanti dipanen suatu hari nanti. Jangan kaget mengapa ada generasi seperti ini pada suatu waktu.

Seragam...

Paling mudah dijumpai adalah masalah toleransi yang ada dalam baju seragam. Tentu bahwa seragam sendiri masih merupakan polemik, namun masih cukup efektif bagi bangsa yang masih perlu atribut seperti ini. Seragam, salah satunya adalah kerapian, maju  masuk pada celana atau rok. Namun demi memudahkan guru mendisiplinkan siswa lebih mudah memfasilitasi dengan model baju luar. Ini keren, gaya, dan modis, namun secara mendasar motivasinya, hanya karena trend di sinetron baju di luar, anak-anak susah dipaksa untuk memasukan baju. Gampang dibuatlah baju di luar. Alasan modis, lha mau sekolah atau bergaya. Jika memang berani mengapa tidak sekalian tidak berseragam. Implikasi banyak banget, dengan kondisi bangsa dan negara ini. jangan latah meniru bangsa A atau B, beda kasus.

Nilai, standart kelulusan...

Soal standar kelulusan. Dulu terutama, UN itu tiap tahun kalau tidak salah naik nol koma lima, atau setengah. Contoh tahun ini lima (5)  berarti tahun depan akan menjadi lima koma nol (5.5) atau lima setengah. Selalu naik, cuma soal lebih mudah. Naik dalam nilai namun sebaliknya kualitasnya sama saja karena standar soalnya diturunkan. 

Di atas kertas sih kelihatan lebih baik jika dibandingkan tahun sebelumnya, namun kualitas sama saja, bahkan bisa turun. Memang keren nampaknya, lihat politis lagi bukan, kalau tampilan itu, secara mendasar tidak ada perubahan. Mana yakin ada perubahan ketika sistem pengajarannya tidak berubah, pengajarnya juga begitu-begitu saja, ajabibnya kelulusan tetap 100%. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline