Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Fenomena "Celup", Pelanggar Hukum dan Pelanggar Etika

Diperbarui: 29 Desember 2017   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fenomena "Celup", Pelanggar Hukum, dan Pelanggar Etika

Fenomena "celup", pelanggar hukum, dan pelanggar etika, jamak terjadi di Indonesia orang menjadi heboh pada hal-hal yang sering tidak mendasar, atau ada yang juah lebih mendesak dan penting. Membedakan penting-mendesak, penting-tidak mendesak, dan tidak penting-namun mendesak, atau bahkan tidak penting-dan tidak mendesak itu masih sering kacau. 

Apresiasi atas kinerja, ide, dan gagasan baik para mahasiswa pencetus "celup", namun ketika itu menyangkut asusila dan etika,  panjang runtutannya. Apalagi malah bisa jatuh pada bukti prematur, fitnah jauh lebih celaka, dan melanggar hukum pula.

Ranah etika, atau etis, atau moral, atau susila itu berkembang. Contoh konkret saja, bagaimana dulu, tahun 80-an, pacaran saja sangat private, masih belum berani menyatakan diri pada publik, kini, anak-anak sekolah dasar saja bicara pacaran. Ini soal susila, soal etika yang bisa jauh bergeser. Apakah hal ini bisa disanksi sosial? Jelas bisa, namun sanksi hukum, nanti dulu. 

Susah menakar hukum pada ranah susila karena moral dan etika itu berkaitan dengan subyektifitas yang terus berkembang, bersinggungan dengan peruahan zaman, dan tidak ada patokan yang pasti. Satu pihak bisa saja menggangap itu biasa, normal, wajar, dan yang lain menilai sebaliknya.  

Nilai moral itu sebenarnya ada tiga, bermoral, artinya tingkah laku baik secara universal, misalnya kejujuran, sikap ksatria, berarti moralnya baik. Namun ada pula tidak bermoral, misalnya bapak memerkosa anak, mana ada moral baik di sana? 

Jelas semua sepakat tidak bermoral. Namun jangan lupa ada yang tidak bernilai moral, artinya, sama sekali tidak berkaitan dengan norma moral sama sekali. Contoh, mau makan dengan tangan atau sendok, atau sumpit itu tidak bisa dinilai dengan moral tentunya.

Jauh lebih bermanfaat ketika menggunakan ide, gagasan, dan kinerja keren itu untuk perilaku pelanggar hukum,yang sangat mudah, dan jelas tidak akan menimbulkan implikasi hukum ataupu fitnah. 

Itu pelanggar hukum terutama lalu lintas. Gampang banget, berdiri saja di persimpangan jalan utama, sejam saja akan panen photo keren dan tidak akan bisa dituntut ke muka hukum karena pelaku adalah pelanggar hukum, yang diunggah pun bukan konten pornografi. Jelas parameternya, jelas hukumnya, dan jelas tujuannya. Baru lalu lintas dan jalan raya.

Sanksi sosial yang digagas memang baik dan benar, jauh lebih bermanfaat jika menemukan, mem-viral-kan perilaku aparat, pejabat, dan pelayanan publik yang buruk. Apakah susah? Tidak akan susah, datang saja ke pusat pelayanan publik, terminal atau stasiun misalnya. 

Ketika petugas mainkan smartphone,atau lalai melakukan tugasnya, jelas itu akan meningkatkan kualitas hidup bersama dengan baik. Luar biasa banyak model-model ini dalam pelayanan publik, terutama, maaf negeri seperti RSU, Puskesmas, dan lain sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline