PSSI soal pelatih, belajarlah kepada Arsenal dengan Wengerismenya, sekian lama kering juara, namun Wenger tetap saja dipertahankan. Lihat berapa kali Madrid berganti pelatih, Barca, tetangga Chelsea, atau Liverpool. Sedikit mirip MU dengan Fergusennya, toh ini sudah pensiun balik lagi dan pensiun kekal. Wenger tetap masih berkedudukan sebagai pelatih dan manager Arsenal.
Rekan-rekan terumata Pros Aji dengan sastra dan humanismenya bersama Prof Peb dengan celanannya paling hobi ngeledek persoalan Arsenal dan capaiannya. Padahal yang ribut kan penonton, toh manajemen Arsenal tenang-tenang saja. Penonton kan bayar untuk melihat pertandingan, sudah impas kan, beda kalau selalu kalah dan tidak pernah menang, patut penonton mengecam, masih menang, kalah, dan seri juga. Konsisten peringat atas meski paling bawah, toh manajemen puas. Tidak ada pelatih senyaman Wenger. Pemain top pun mau juga nyatanya dilatihnya. Petr Chech kiper kurang apa coba, toh membela. Atau andalan Jerman dan Chile juga seneng-seneng saja.
Filosofi, kelihatannya PSSI mau menyontoh, mau Ediisme atau apalah, mencoba itu, Wengerisme sudah sekian lama memesona petinggi klub untuk tidak mengusiknya. Coba bayangkan kalau di Madrid apa tidak digantung pelatih dengan tanpa gelar lama banget. Ternyata berbeda dengan para penonton, klub lain, dan manajemen lainnya. Sponsor juga masih mengalir. Hal filosofi ternyata kuat dan diamini banyak pihak, kecuali penonton.
Tidak pernah menyalahkan pemain, petinggi klub, apalagi sponsor. Coba jika begitu, dia sudah didepak lama. Tidak pernah Opa Wenger menyalahkan pemain, atau soal wasit, cidera sebagai bagian utama dan yang paling sering dikeluhkan. Tipe manajer tidak mengeluh dan apa adanya. Coba Mou mendapati pemainnya gagal buat gol, akan ditendang dan dijual.
Pemain bintang itu uang, aset memang buat klub, bukan semata membuat menang tapi menjanjikan uang. Termasuk ke seteru sekalipun. Bagaimana Viera menjadi kapten di City, Persi menjadi mesin gol MU, dan banyak lagi. Menjalin relasi dengan manajer lain juga klub lain.
Manajemen Arsenal juga tidak pernah terdengar di media mengenai pemain dan pelatih, beda dengan Madrid atau Chelsea yang sering membuat gaduh dan lebih pinter dari pemain itu sendiri. Mereka puas dengan pemain dan pelatih, meski nyaris juara terus menerus. Menjanjikan di awal saja.
Masa lalu bukan beban. Tidak pernah terdengar soal masa lalu yang dielu-elukan (toh gak membanggakan banget memang), namun mereka pernah memegang rekor tidak pernah kalah bahkan hingga musim berganti. Punya pemain belakang dan kiper terbaik saat itu, coba PSSI kan selalu berkata, dulu, dulu, dan dulu. Sejarah, sejarah, sejarah saja.
Manajemen tidak pernah terdengar memberikan target, padahal tim lain sangat tinggi menyangkan target. Ini sangat wajar sehingga tim bisa bermain dengan leluasa. Ingat pas Sea Games ditargetkan emas atau perak, eh malah perunggu.
PSSI mengganti Indra Safri pelatih yang memberikan karakter pada pemain dan permainan. Permainan cantik U-19 era Evan Dimas sangat menjajikan. Tidak diperpanjang kontraknya karena tidak memenuhi target. Bagaimana mau menang dan juara kalau hanya dua tahun menangani anak-anak yang tidak bermain secara reguler di klub manapun itu. Membangun filosofi dan karakter jauh lebih penting daripada gelar, gelar itu bonus dan konsekuensi logis. Bukan berarti piala atau emas tidak penting, namun sabar , butuh waktu, dan belajar yang panjang.
Pengganti Bima Sakti dan Gonsales, mereka tidak salah, mereka berpengalaman sebagai pemain iya, namun pelatih bukan semata itu. Pelatih bisa soal teknik, pendampingan, dan memotivasi. Apalagi yunior, masih perlu banyak hal yang perlu dibenahi, sisi emosi, bagaimana pelatih yang masih muda juga bisa menemani mereka untuk bisa matang? Patut ditunggu kiprah mereka memang. Berbeda jika Jackson F Tiaga, matang juga sebagai pelatih klub.
Perlu berlatih sabar dan tidak cepat memecat pelatih. Mana ada dua tahun bisa membangun tim yang solid, apalagi berasal dari tim yang berseteru bak anjing dan kucing. Coba apa tidak ada kendala pemain Persib dan Persija, timnas Spanyol saja mengalami apalagi Indonesia yang masih melibatkan banyak hal dalam sepak bola. Kadang agama segala. Pelatih di sini juga bingung memilih ribuan pemain dari ratusan klub dengan karakter macam-macam, kualitas yang masih sama saja lagi. Coba janganlah Luis Milla itu dua tahun, minimal lima tahun lah bisa menjadi sebuah timnas yang lebih baik.