Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Lulung, Ombudsman RI, Camat Tanah Abang, dan Implikasi Pernyataan

Diperbarui: 23 November 2017   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah seorang Komisioner Ombudsman menyatakan keberadaan premanisme di Tanah Abang, salah satu pernyataan penguat justru oleh pimpinan otoritas daerah terdekat yaitu camat yang mengatakan nada yang sama. Pungli dan adanya kubu serta "penguasa" pasar. Menarik adalah apa yang disampaikan oleh sesepuh Tanah Abang yang menyatakan tidak ada preman di sana, kecuali copet satu dua, di Senen pun ada, dan itu bukan bersifat "terstruktur" (tambahan dan interpretasi sendiri). 

Jika menjadi sebuah voting tentu menang kubu yang mengatakan kalau ada preman dan sejenisnya. Dalam pertandangan pun skor 1-2 jelas menang, kecuali media sebelah yang jadi kelucuan dulu karena salah sebut.

Apa yang dinyatakan soal pro dan kontra itu biasa, alamiah, natural, tidak menjadi persoalan, namun ketika itu adalah sebuah kejahatan namun dikatakan tidak ada, bahkan level pimpinan dewan daerah, atau sebaliknya tidak ada namun dinyatakan ada oleh level petinggi negeri dan daerah, jangan main-main, ini Ombudsman RI dan camat lho, bukan main-main. Coba siapa benar dan siapa salah.

Seolah pro kontra seperti ini hal yang lumrah, padahal hal yang sangat esensial apalagi mengaku sebagai negara beragama. Menyinggung agama sedikit bisa jadi masuk bui, namun bisa mengatakan ada kejahatan dan tidak ada kejahatan di waktu yang sama, obyek yang sama, dan jelas semua bisa melihat dengan jelas, gamblang, dengan mala telanjang pun tahu mengapa Gubernur sekeras Almarhum Ali Sadikin saja tidak mampu, susahnya minta ampun dikelola.

Pertanggungjawaban Ucapan

Layak ditunggu klarifikasi dan pembuktian dari Ombudsman, soal keberadaan preman yang ada sebagaimana sudah diakui camat, namun ditolak oleh Pak Lulung, apa yang akan dilakukan oleh Pak Lulung jika memang terbukti ada pungli dan preman di sana. Bukan mau berpikir buruk, paling ngeles dan mengatakan yang tidak jauh berbeda dengan dalih. 

Pertanggungjawaban yang menyatakan sebaliknya belum ada di negeri ini, tidak heran. Suap, kolusi, apalagi korupsi menjadi gaya hidup yang tidak mudah dihilangkan. Memutarbalikkan fakta dengan bumbu ayat suci yang tidak ditakuti malah seolah bangga. Semua mengaku beragama, tapi lupa bahwa ada pertanggungjawaban usai kehidupan di sini rupanya.

Bagaimana seorang pemimpin bisa dengan begitu saja mengatakan kebalikan dari apa yang ada dengan enteng karena memang tidak pernah ada prosedur hukum yang memadai, beda ketika yang mengucapkan itu rakyat biasa, miskin, tidak memilki modal kapital dan relasi tentunya. Masih ingat siapa yang bersumpah mau terjun dari Monas, digantung di Monas, atau potong jarinya bukan? 

Apalagi tokoh agama pun dengan enteng bersumpah mau jalan kaki sebuah jarak yang luar biasa, toh masih dengan cengegesanmenghina orang lain yang ternyata jauh lebih ksatria. Jika level elit baik politik atau agama saja masih sama perilakunya, jauh mulut dengan tindakan, jangan harap akan maju negeri ini.

Budaya dan Tabiat Kritis yang Tidak pada Tempatnya

Luar biasa kritis bangsa ini, namun sering tidak pada tempatnya. Coba jika model pejabat asal cuap dan dituntut pertanggjawabannya, negara ini sudah maju sejak dulu. Sama juga kreatif dengan vespa sampah,yang bisa berjalan dengan gaya "joroknya" namun membuat motor asli dalam negeri belum bisa hingga kini. Coba kreatifitas itu, kritis itu pada proporsi yang pas dan berguna. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline