Hari ini dirayakan sebagai hari pangan sedunia. Sabtu kemarin dalam Misa, Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang mengeluarkan Surat Gembala, kotbah untuk kalangan sendiri mengenai hari pangan ini. Soal kelaparan menjadi sorotan penting.
Semalama pas kenduri di rumah tetangga yang memperingati setahun meninggalnya anggota keluarga, faktual adanya penghargaan akan pangan ini. Beberapa tetangga makan dengan patut sampai habis, ada yang masih sisa banyak, dan ada yang hanya dibalik-balik saja, ada pula yang menyatakan terus terang tidak makan di tempat orang yang memperingati kematian, atau tidak makan karena memang baru saja makan. Biasanya undangan itu kisaran pukul 20-an. Sering terjadi dalam kebersamaan seperti ini.
Dengan alasan sudah makan di rumah kemudian hanya menyendok sesendok dua sendok. Padahal bisa memilih menolak karena masih kenyang, atau kalau tidak sejak di rumah tidak usah makan dulu. Misalnya memang sudah lapar sejak di rumah tidak tahan lagi, tolak dengan terus terang. Demikian juga kalau makan di rumah makan. Miris banyak pembeli yang membeli dan tidak dimakan atau masih sisa cukup banyak.
Penghargaan akan Makanan Perwujudan Syukur pada Sang Pencipta
Bayangkan saja berapa banyak yang terlibat dalam proses sepiring nasi. Petani yang menyiapkan sawah dengan buruh tani penyangkul dan pembajak atau tukang traktor, penyedian dan distributor benih, pengolah gabah jadi beras, penjual beras, hingga di tangan penanak nasi, dan terhidang di meja rumah makan, di meja makan, dan di meja perjamuan. Rangkaian panjang yang secara spontan biasanya gak suka, gak enak, dan merasa cukup sudah tinggalkan begitu saja. Padahal masih banyak yang tidak bisa makan dengan kenyang lho. Atau untuk kenyang harus berusaha keras itu saja belum kenyang. Tidak usah melibatkan pemerintah, bosan komentar itu-itu saja, dewasa dikit melihat lebih jauh.Belum lagi jika mau mencerna sebagai bangsa yang bangga akan agama dan spiritualitas, namun sikap abai sangat mendasar soal makanan.
Berbagi Masih Sebatas Konsep
Ketika berkaitan dengan politik saja semua merasa tersakiti, ternodai hati nuraninya, preeeet panjang kata abege. Nyatanya depan rumah kelaparan, ada pengemis yang benar-benar lapar malah membuang nasi begitu saja. Konsep sih bagus. Keren, dan luar biasa malah. Namun dalam arti yang sangat kecil, sederhana, dan sehari-hari, sudah kah terjadi? Mengambil secukupnya, termasuk membeli secukupnya. Jawaban uang-uangku sendiri mempertontonkan sikap egoisme kekanak-kanakan.
Padahal banyak pilihan, untuk tidak membuang makanan atau menyia-nyiakannya. Kalau makan di luar pilih sesuai porsinya. Jika memang perutnya tidak muat banyak jangan beli di rumah makan yang menjual dengan porsi besar. Zaman sudah maju kog, jangan berdalih tidak tahu. Kalau memang pelahap dan perlu porsi besar, bisa beli di tempat yang memang penjual dengan porsi besar. Lebih aneh lagi jika pokwe, jupok dhewe,atau prasmanan, ambil sendiri, jika tidak habis itu terlalu. Ingat belum tentu orang lain bisa juga menikmati seperti makan itu, ketika mau meninggalkan sisa.
Pembiasaan Sejak di Rumah dan Kecil...
Saat menyuapi anak sejak kecil, biasakan untuk habis. Dengan demikian anak menjadi terbiasa. Membuang makanan bukan hal yang baik. Beda kasus jika sangat terpaksa dengan berbagai hal. Kebanyakan sekarang ini sisa karena bukan karena terpaksa, namun karena tidak enak, tidak suka, dan merasa sudah membayar. Pendidikan untuk menghargai makanan hingga menghormati Pencipta tentu akan mengubah perilaku menyia-nyiakan makanan. Lebih miris lagi kalau masih kurang, namun malah dengan makanan tidak memperlakukannya dengan pantas.
Membungkus makanan atau nasi di rumah makan sebenarnya tidak aneh. Toh banyak rumah makan menyediakan plastik atau pembungkus, dan minta mereka membungkuskan juga tidak masalah atau ditolak. Mereka tentu juga lebih suka membungkuskan daripada membuangnya ke tempat sampah. Pilihan lebih bijak dengan membawa pulang sisa, jika membeli berlebih.