Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Hebatnya Eggi Sudjana, Trinitaris, dan Teologi Sandal Jepit

Diperbarui: 8 Oktober 2017   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mendengar, membaca, dan ramainya perbincangan soal pernyataan Eggi Sujana, membuat teringat kisah berulang saat masih kuliah. Bagaimana doktor teologi lulusan Roma, yang di kemudian hari jadi profesor itu selalu menanyakan apakah kuliahnya membuat mahasiswa paham dan mudeng? Ketika dijawab tidak, malah beliau bersyukur, karena memang Trinitas itu bukan untuk dipahami dan dimengerti, namun  diimani. Iman itu bukan semata paham, mudeng, dan tahu, namun yakin dan percaya, soal alasan dan kadang logis saja tidak menjadi pertimbangan. 

Mahasiswa yang mengaku tidak bingung dan paham artinya sok tahu dan malah patut dipertanyakan imannya. Dan itu forum keilmuan lho di kelas kuliah, bukan di gereja. Oh iya, hampir lupa, mahasiwa yang mengambil mata kuliah ini kisaran semester delapan dan sudah melakukan kuliah lapangan kurang lebih dua hingga empat semester. Artinya mereka bukan lagi anak terori namun juga anak atau mahasiswa yang sudah melakukan studi lapangan.

Suatu hari, pas tanya-tanya Mbah Google, eh nemu sebuah "ledekan" kalau Trinitas itu teologi sandal jepit. Ya memang begitu. Karena coba bayangkan, kalau sandal jepit itu putus satu, apa bisa dipakai dengan baik dan nyaman? Susah lho. Wah keren ini yang membuat artikel, dan dia bukan Kristiani lho, kan keren bisa memahami seperti itu dalamnya. Jepit yang membuat sandal bisa seiring sejalan dengan telapak kaki itu ada tiga dan bisa seperti itu ketika ketiganya menjadi satu dan semua pada posisinya dan baik, jika ada yang lepas apalagi putus jelas tidak bisa dipakai dan koordinatif dengan telapak kaki.

Hebat bukan penemu teologi sandal jepit ini, tidak belajar apalagi mengimani, namun bisa menulis dalam blog lho. Eh kini ada pula penafsir yang jauh luar biasa bisa menafsirkan ajaran iman semua agama, selain agamanya sendiri lho. Ini luar biasa. Mengerti agama Hindu, Budha, Kristen Protestan, Katolik, mungkin pun Kong Hu Cu sekalian yang dimaksudkannya. 

Patut mendapat acungan jempol lho, menurut rekam jejak yang ada, kelihatannya tidak pernah mempelajari perbandingan agama, filsafat agama, atau mengenai teologi agama-agama, secara kuliahnya tidak menunjukkan itu, namun bisa lho memberikan penafsiran yang begitu mendalam, ini bukan sembarang, justru luar biasa. 

Bandingkan doktor lulusan Roma itu pun membuat mahasiswa tidak paham. Hebat luar biasa, bagaimana pengetahuan agamanya sendiri coba jika bisa mengerti enam agama sekaligus seperti itu. Jauh lebih tinggi dari profesor yang mengajar itu bukan? Dosen IAIN atau STAIN dilibas habis. Dosen STT apalagi, dosen STFT atau FT semua kalah, apalagi kalau Cuma dosen pendidikan agama apapun agamanya pasti kalah mendalam.

Pemikiran cerdas itu tidak perlu dihujat, apalagi kan diforum keilmuan, maksudnya forum pengadilan yang mengaji ilmu pengetahuan bukan untuk dipidana mungkin. Bener, pemikiran tidak boleh dipidana. Kasihan kan kalau nanti ada orang dipidana hanya karena memikirkan wah enaknya istri atau suami artis itu kalau jadi pasanganku. Kan hanya pikiran. He...he...he... kalau menghujat, mengatakan ini itu, atau memberikan kuliah filsafat atu teologi, mana mampu coba, ia mengerti semua agama. Padahal masing-masing hanya paham atau mengimani agamanya saja. Mana ada sih yang mengimani minimal mempelajari semua agama yang ada di Indonesia?

Iman itu kan tidak semata pengetahuan, tidak semata definisi, tidak semata huruf-huruf yang menjadi kata dan kalimat, namun dihidupi, diterapkan, dan menjadi gaya hidup. Iman itu dikenal dari buahnya. Buah kedamaian, cinta kasih, mengasihi orang lain sebagaimana adanya sebagai manusia, bukan karena persamaanya, mengeluarka kata bijak bukan kata bejat. Lebih mudah mendoakan daripada mencaci. Menyatakan kebaikan dan menebarkan ungkapan positif dan motivasi. Ungkapan iman dan kedalaman iman bisa dilihat dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Fanatik akan agama itu penting dan harus. Namun ke dalam. Bukan ke luar. Pengetahuan agama sendiri belum tentu benar-benar demikian, lho bagaimana jika membandingkan dengan milik orang lain dan malah salah. Memaksakan kehendak menjadi satu jurusan dengan fanatik yang sempit dan keluar. Menjadi berabe kalau memaksakan apa yang tidak dimiliki secara utuh itu kepada pihak lain, apalagi pihak lain itu tahu dengan baik pengetahuan agamanya juga agama yang mau memaksakan itu.

Melihat atau melongok itu tidak sama dengan tahu, apalagi paham, apalagi lebih  dalam mengerti secara menyeluruh. Pengetahuan iman tidak cukup untuk mengimani. Melongok sebuah ruang dan mengaku tahu banyak ruangan itu, tentu patut dipertanyakan. Misalnya tahu istana merdeka hanya karena setiap hari lewat. Apa benar istana sebagaimana ia gambarkan? Apa tahu istana itu ada aroma yang menenangkan, kewibawaan ruangan-ruangannya, atau malah angkernya?  Bisa membuat nyaman atau tidak, lah bagaimana tahu kalau hanya lewat bisa mengatakan nyaman banget tinggal di sana.

Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline