Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Nobar Film G-30 S/PKI, Tidak bagi Saya, itu Pilihan...

Diperbarui: 22 September 2017   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nobar Film G-30 S/PKI, Tidak bagi Saya

Pertama kali tayang film ini, saya kalau tidak salah ingat kelas empat sekolah dasar, wajib tonton di gedung bioskop waktu itu yang masih cukup banyak dan tidak elitis seperti sekarang ini. Di sebuah kota kecamatan saja ada dua gedung bioskop. Setelah lebih dari dua dekade, kini ada lagi ide nobar dengan konsep berbeda tentunya. Dulu wajib tonton bagi siswa-siswi dan tidak akan ada yang berani nolak bayar sendiri lagi, dan ada iming-iming menang hadiah tertentu. Kalau tidak salah ingat hadiah utama honda win.Dan beberapa hadiah hiburan.

Mengapa tidak untuk kali ini menyaksikan gratis, dengan kualitas layar yang akan lebih bagus tentunya, namun beberapa hal tidak, sekali lagi tidak bagi saya. Tentu ini bukan bentu provokasi untuk pembaca juga mengambil keputusan yang sama. Toh grup di media sosial sudah banyak yang membagikan jadwal pemutaran di sekitar rumah tinggal.

Kekerasan Terlalu Vulgar

Alasan enggan untuk menonton bukan karena politis, namun kekerasan yang menjadi tema utama sangat  vulgar.  Tentu beda jika memang film itu tema kepahlawanan ala Hollywood yang 21 tahun ke atas, lha ini ada wajah disilet dengan kamera close up,menari dan menyanyi di antara siksaan pihak lain, dan kekejian lainnya yang sangat dominan dan kuat. Terlalu berlebihan memang jika mengatakan jangan-jangan hanya dipakai untuk mempertontonkan kekerasan bukan sepenggal sejarah yang memang milik penguasa dan pemenang kala itu.

Sebentuk Tanya akan Obyektifitasnya

Tentu bahwa semua yang ada di dunia tidak akan lepas yang namanya kepentingan, termasuk di dalamnya Orba. Bagaimana mereka tentu ingin berkuasa dengan legitimasi kuat, bersih, dan bisa dipertanggungjawabkan. Obyektivitas tentu sangat kecil, bahkan bisa tidak lagi menjadi yang utama. Namun apakah semua pihak yang terlibat di masa itu dilibatkan untuk menyusun cerita jadi seperti itu. Waktu film dan novel itu dibuat, masih banyak saksi mata, saksi hidup, baik korban atau pelaku. Sangat berbeda kini dengan kondisi yang jauh berbeda. Penonton banyak yang sudah tidak paham, pelaku yang hidup sudah mulai pikun, dan susah untuk mendapatkan seobyektif mungkin tentunya.

Baca Literature Pembanding dan Penyeimbang

Mirisnya bertahun-tahun bahkan dalam jangka dekade, sisi lain dibungkam, tidak boleh bahkan berbicara mengenai komunisme dan PKI, artinya, pembanding, penyeimbang sama sekali tidak ada. Cap dan stigma negatif amat sangat dengan litsus, pemecatan aparat negara yang orang tuanya mendapat OT, dan sejenisnya sangat tragis.  Bagaimana bisa seimbang dan tahu banyak mengenai kisah yang dibuat gelap, kabur, dan separo yang perlu diketahui dicap tidak layak dilihat seperti itu. Era reformasi memberi angin segar, namun eforia ini pun kadang membuat bias karena emosional bukan rasional. Akhirnya jatuh pada ekstrem lain yang sama-sama menjauhkan diri dari obyektifitas kasus ini.

Propaganda dan  Sejarah itu Milik Pemenang

Hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata, dan sepele, ini sangat menentukan. Jadi kehendak baik posisi netral sangat diperlukan. Selama ini oara pelaku sekaligus korban masih berkutat pada kesakitan diri, belum beranjak menjadi sakit bersama dan sembuh bersama. Contoh tokoh patut dijadikan acuan ada pada Letnan Jenderal Agus Wijoyo, akan tentara, jenderal yang dibunuh bisa bersama para "pelaku" yang telah menghabisi bapaknya. Keberanian melangkah untuk bersama sebagai saudara. Ada yang tidak tepat itu diluruskan bukan diakali dan diakui selalu benar dan sudah semestinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline