Politik kebiri menjadi gaya baru berpolitik akhir-akhir ini. Beda dengan Orde Baru, di mana partai dibuat, bukan tumbuh sebagaimana adanya. Akhir-akhir ini, nampak gejala pemandulan partai yang banyak ulah. Beda pula dengan periode lalu di mana partai bisa berulah semau-maunya, bahkan menjadi beban yang didukung, bukan memberikan bantuan malah seolah menelikung. Jargon seribu kawan kurang satu lawan berlebihan membuat mereka merajalela di dalam melakukan manufer. Dimotori Golkar dan PKS mereka jauh lebih garang dari PDI-P yang tidak pada pihak mendukung pemerintah.
Menarik apa yang menjadi lakon para partai politik ini. Orde Baru memang partai politik semata simbol. Toh para ketua umum, siapa yang masuk pada dewan semua atas persetujuan penguasa saat itu. Meskipun ada tiga partai, jangan harap yang dua itu pernah bisa bersuara. Mereka hanya simbol seolah-olah demokrasi. Tidak akan pernah namanya interupsi apalagi kritik, apalagi berani nyinyir kepada pemerintah. Kesimpulan akhir, masa itu tidak ada partai bisa berbuat semaunya sendiri, demokrasi semu. Jangan kaget lahir istilah sebelum pemilu sudah diketahui siapa pemenangnya. Jelas saja Golkar di atas 80%, PPP mengekor, dan buncit pasti PDI dengan kisaran 5%. Selalu demikian. apa yang mau dihasilkan dengan model pengawas dan yang diawasi satu kandang dominan lagi.
Golkar yang puluhan tahun berkuasa kembali ke gelanggang di era SBY. Demokrat sebagai anak kemarin sore jelas kalah langkah dengan pengalaman Golkar yang malang melintang puluhan tahun. Siapa yang bisa menghalangi langkah zig zag mereka ditambah anak bayi yang mau ikut enak ala PKS. Sepak terjang mereka tidak bisa diterka, namun lebih sering bermanufer dan bersatu dengan PDI-P. Bahkan kadnag PDI-P masih jauh lebih lembut padahal mereka di luar pemerintahan.
Golkar yang awalnya masih banyak omong, mati kutu ketika dualisme pengurus berlarut-larut. Mereka saling berebut dan medan peradilan pun tidak memberikan pencerahan. Saling kalah dan menang termasuk di pengadilan membuat mereka kehabisan daya untuk bisa maju dalam banyak hal. Ketua umum lama yang kalah dalam mendukung capres, lebih malu lagi suara besar mendukung partai-partai di bawahnya untuk menjadi capres, membuat semakin suram. Permainan di KMP pun tidak menjanjikan. Bubarnya KMP dipakai untuk "menertibkan" Golkar yang akhirnya dipimpin Setya Novanto. Novanto yang terjerat rekaman papa minta saham,mau tidak mau "tunduk" pada pemerintah. Jadi anak manis yang hanya senyam senyum saja.
PKS yang sangat garang di era lalu, juga selama pilpres, pun merasa tidak berdaya. Tidak heran pengurus baru pun sowanke presiden. Sikapnya sangat tidak lagi garang seperti yang lampau meskipun tidak ada menteri di dalam kabinet kali ini. beda kala dulu punya tiga menteri tapi garangnya tidak ketulungan. Tidak semanis Golkar memang, tapi cukup alim. Belum lagi aksi pemecatan pimpinan dewan yang tidak berujung pangkal ini. mereka juga kehabisan daya ketika satu persatu pengurus, simpatisan yang cukup kuat terjerat korupsi. Nama bersih mereka tercoreng dan tidak mampu lagi membersihkannya. Belum lagi diperparah dengan UU Ormas yang sedikit banyak sangat berkaitan dengan mereka. Secara tidak langsung mereka sangat akrab dengan kelompok yang dibidik pemerintah.
Demokrat yang sangat gencar mengritisi pemerintah, bahkan cenderung lebay pun akhirnya datang ke istana. Dua kali paling tidak, Demokrat datang ke pemerintah, pertama ketika mengutus puteranya untuk sowanmohon doa restu atas institute Yudhono, dan yang paling heboh dan fenomenal datang ke istana untuk ikut dalam upacara 17 Agustus. Pertemuan presiden dan wakil presiden terlengkap sepanjang sejarang bangsa ini. Padahal mana pernah Demokrat semanis ini, bahkan pernah mengadakan tour de Java,merasa seolah presiden aktif yang sedang mengadakan safari, mengunjungi rakyatnya. Semua berantakan dengan kunjungan Hambalang.
Gerindra, pucuk pimpinan sih baik-baik saja. Namun pejabat terasnya sering bicara berlebihan, kadang tidak patut, dimulai dari pilkada DKI sebenarnya. Bagaimana pejabat terasnya banyk melakukan kritik yang maaf kurang membangun, sebatas ketidaksukaan, bukan karena kinerja pemerintah secara umum. Namun tiba-tiba muncul dengan kehebohan saracen. Memang tidak ada kaitan secara langsung dengan mereka. Sama sekali tidak ada memang nama Gerindra dan pejabat terasnya yang ada di sana.
Satu saja bagaimana smp, solidaritas menangkan Prabowo,yang berkaitan erat dengan petinggi-petinggi Gerindra dan banyak yang akrab dengan petinggi partai nasionalis ini. Keakraban ini pun aneh sebenarnya, jelas ppartai nasionalis, namun jauh lebih akrab dengan partai dan ormas yang memeiliki kecenderungan radikalis, dan menggunakan ungkapan-ungkapan radikalis.
Tidak ada kata atau kalimat langsung merujuk Gerindra, namun bukti-bukti itu saling berkait dan photo tidak akan bisa disangkal, meskipun ada yang mengatakan tempel-tempel,maksudnya editan. Gerindra bisa jadi PKS kedua, kehabisan energi untuk menangkis "tuduhan" ini tidak akan mampu dan cukup siap berkompetisi pada 2019. Memang masih cukup kuat, namun tidak cukup mampu bersaing dengan lebih lagi karena energinya terbelah.
Bijaksana bagi Gerindra secepatnya klarifikasi, bukan membela diri namun nyatakan dengan terang dan lugas kedudukannya. Jika memang berkaitan dan merasa tidak patut minta maaf dari pada mengancam untuk melaporkan kepada pihak berwajib. Pilihan ini justru akan membuat lawan politik senang, hasilnya kecil. Jika berani menyatakan mana posisi dengan jelas jauh lebih baik hasilnya. Apalagi jika kepolisian yang menyatakan pemesannya, jauh lebih buruk lagi apa yang diperoleh.
Salam