Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Kengawuran Pendidikan Nasional

Diperbarui: 15 Juni 2017   09:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kengawuran Pendidikan Nasional

Pendidikan kembali “bergolak” usai ada keputusan pendidikan sepanjang hari, atau pendidikan delapan jam, dikenal juga dengan pendidikan lima hari per pekan. Beberapa hal yang perlu dicermati adalah:

Pertama, Pendidikan yang panjang durasinya dianggap bagus. Padahal paradigma pendidikan, yang diajarkan bertahun-tahun, pasti oleh dosen mata kuliah Pendidikan Dasar, atau Pengatar Pendidikan, akan dikatakan enam kali satu dan satu kali enam,artinya, belajar satu jam dengan pengulangan enam kali lebih baik daripada belajar terus menerus selama enam jam. Hal ini juga melahirkan sistem pendidikan SKS,sistem kebut semalam. Sangat tidak efektif dan sangat membuang energi namun apa yang diserap sangat minim. Otak memiliki daya kerja yang terbatas, apalagi jika tidak dibaengi dengan pembiasaan.

Kedua, seragam. Hal ini baik dalam berpakaian, dalam sistem pembelajaran, dan mirisnya hasil akhir ujian tentu menjadi tanda tanya. Bagaimana bisa pimpinan daerah melalui jajarannya bisa menentukan nilai minimal agar bisa dinyatakan lulus. Ini memang beberapa waktu lalu. Soal seragam sekolah baik kala dikaitkan dengan agar tidak ada kesenjangan dan menjadi ajang identitas untuk tawuran. Namun itu juga bukan penyelesaian masalah, saat dunia pendidikan tidak menyelesaikan hal secara esensial. Bagaimana masalah tawuran bukan soal kain, namun tabiat buruk yang harus diselesaikan. Masalah keseragaman pola pikir dengan pilihan ganda yang membuat anak malas berpikir, ada anak yang hanya asal arsir sepuluh menit terakhir lho. Perbedaan adalah salah dalam pola pendidikan seperti ini. Seragam dalam nilai akhir dan kelulusan.Suka atau tidak, rela atau berat hati, pendidikan di daerah dan kota sangat jauh berbeda. Namun dulu, kelulusan disamakan, ini luar biasa, bagaimana anak Jakarta yang elit bisa ujian dengan soal yang sama dengan anak pelosok yang bisa saja seminggu ketemu guru sekali, apalagi tahu mbah gugelsegala.

Ketiga, politik dan agama bisa masuk ke dunia pendidikan dengan luar biasa. Kepala daerah bisa menentukan siapa kepala sekolah. Timses bisa mendapatkan jaminan jadi kepala dinas atau kepala sekolah. Hal ini jelas merusak dunia pendidikan. Agama pun tidak jauh berbeda. Artinya, pendidikan itu biar dikelola oleh ahlinya, pendidik, bukan sembarang orang yang sama ideologi atau pilihan politik, namun karena pendidik, jiwa pendidik yang mampu memberikan motivasi, memberikan pendidikan, dan mengarahkan peserta didik menjadi baik ke depannya.

Keempat, gelar berderet, bukan soal kemampuan. Salah satu penyakit bangsa ini gila gelar bukan kemampuan. Memang sekarang sudah mulai bertobat dan tidak lagi seperti beberapa waktu lalu. Namun penyakit selembar ijazah jauh lebih berharga dari kemampuan juga masih kuat terpatri di dalam benak kehidupan berbangsa. Gelar menjadi jaminan bukan kualitas sayangnya. Seahli apapun jika tidak punya gelar susah hidup bersaing di negeri ini. Pun demikian, sayangnya ijazah juga bukan jaminan orang bisa bekerja. Belum ada sinkronisasi antara ijazah dan kemampuan, ini pekerjaan besar dunia pendidikan di Indonesia.

Kelima, penghargaan berlebihan kepada beberapa mata pelajaran dan menganaktirikan pelajaran lain. IPA, Matematika, Fisika, Kimia, dan teknik  menjadi favorit. Pelajaran seni, olah raga, dan humaniora lain malah disepelekan, seolah anak tiri. Padahal belum tentu semua anak mampu pada bidang-bidang ilmu pasti. Belum tentu juga anak itu kuat ilmu sosial berhasil memang, perlu adanya kesempatan yang sama bagi semua bakat dan tumbuh kembang anak. Selama ini, masih belum diselesaikan dengan baik. Bagaimana sekarang sektor olah raga kalah bersaing dengan negara tetangga yang kecil sekalipun. Salah satu andil dunia pendidikan. Kekerasan yang meraja lela juga andil dunia pendidikan yang tidak memberikan kesempatan ilm olah rasa berkembang. Anak dijejeli ilmu koginisi ranah otak saja.

Keenam, pendidikan itu untuk hidup bukan nilai, jumlah nilai, atau taraf nilai, A, B, 7, atau 8, namun nilai kehidupan yang perlu menjadi tujuan. Anak pinter banyak, namun cerdas kurang, apalagi cerdas dan berkarakter. Mengapa banyak orang tega memperalat orang lain? Karena pinter otak, namun olah batin dan rasa rendah. Analitis otak bagus, namun empati dan simpati rendah. Mengejar ranking dan prestasi tinggi dengan menjegal orang bukan pertimbangan, asal aku, bukan kamu yang paling depan.

Ketujuh, dunia pendidikan secara tidak langsung diterapkan model ekonomi bisnis. Sekolah bersaing seperti hukum rimba, siapa kuat dia bertahan. Tidak seperti itu, harusnya seperti orang naik gunung, satu tali bersama. Dunia pendidikan bukan semata lahan bisnis yang penting uang sekoolah masuk, soal nilai dari mana bukan pertimbangan. Hal ini sudah menggejala. Jangan sampai sekolah seperti perusahaan yang hanya menghasilkan nilai namun tidak bermutu. Berebut siswa dengan sekolah lain dengan cara-cara yang tidak patut, bukan cerminan pendidikan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline