Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Ponari Hingga Afi, Kompeni Sampai FPI, Bangsa Gumunan dan Bosenan

Diperbarui: 4 Juni 2017   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu lalu pro kontra soal Afi sangat panas. Kubu yang membela Afi dengan  segala argumennya dengan kelompok yang menilai berbeda mengenai Afi. Hal ini sangat biasa bagi bangsa ini yang memang mudah gumundan kemudian abai bahkan mencela.

Jadi ingat beberapa tahun lalu, kisah soal anak ajaib dari Jatim juga yang bernama Ponari. Batu yang diyakini bisa menyembuhkan berbagai penyakit menarik minat orang yang haus akan kesembuhan. Bukan hanya seputaran Jatim saja, bahkan dari luar pulau pun datang untuk bisa mendapatkan tuah dari Ponari dan batunya.

Tarik ke belakang, bagaimana Jepang dielu-elukan sebagai saudara tua, pembebas dari suasana penjajahan Belanda. Ujung-ujungnya masih sama, malah lebih parah. Sebenarnya ini bukan fenomena baru, bagaimana bangsa ini mudah menerima apa yang baru, dengan jiwa yang terbuka untuk menerima apapun. Jelas saja Kompeni dulu juga diterima dengan tangan terbuka, termasuk FPI yang berdiri dan tidak jarang kini menjadi duri dalam daging hidup bersama.

Bangsa gumunan.

Satu sisi sebenarnya memungkinkan untuk cepat maju dan berkembang pesat karena kesiapan untuk menerima apapun yang baru dengan baik. Sayangnya adalah tidak dilengkapi dengan sikap mau belajar. Lihat saja bagaimana merasa memiliki Obama, Radja Nainggolan, Mulyadi, dan sebagainya. Padahal hanya karena pernah hidup di sini, ada darah Indonesianya, bisa mengatakan aku suka bakso, rambutan, atau namanya memang kental Indonesia. 

Sering hiruk pikuk yang tidak bernilai, seperti orang melihat kecelakaan yang malah membuat orang yang menjadi korban tidak bisa diselamatkan. Mobil pemadam kebakaran yang terhambat oleh penonton. Satu sisi hal ini membuat bangsa ini kaya akan budaya, keragaman, dan menjadi bangsa yang suka damai. Pada sisi lain, jati diri menjadi lemah karena karakter sendiri memang tidak kuat dan akhirnya malah hanyut dan terikut arus.

Gumunan,diperparah instan dan tidak suka evaluasi

Gumunan,tanpa menjaga jarak menjadi sangat terbuka dan lemah dalam sikap kritis. Ada kekecewaan sedikit langsung saja jadi penghujat kelas dewa. Hal ini sering menjadi kebiasaan. Bagaimana Bung Karno juga mengalami sebagai pejuang kemerdekaan yang sangat dielu-elukan dan kemudian mengalami yang sama. 

Pak Harto tidak jauh berbeda. Pak Beye juga dulu idola banyak orang, apa sekarang. Pak Jokowi, tidak jauh berbeda. Jika sedikit saja tidak berlebihan di dalam mengidolakan dan gumun,tentu kekecewaan yang akhirnya menjadi hujatan itu tidak akan seseram itu. Di dunia tidak akan ada yang namanya bisa memuaskan semua pihak, namun tentunya juga tidak akan menjengkelkan semua orang bukan. Jika tidak terlalu parah jengkelnya, tentu tidak pula terlalu sukanya dan sebaliknya. Keberanian menjaga jarak atau mengadakan evaluasi membuat bangsa ini gampang gumunyang ujung lainnya sebagai konsekuensi logis kecewanya juga berlebihan.

Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Hal ini  perlu menjadi acuan sehingga tidak mudah gumun,dan juga menjadi mudah bosan. Tidak akan mudah timbul sikap memuja namun juga berbalik menjadi penghujat paling keras. Hal ini perlu dibangun, bukan berhenti pada ganti topik dan lupa lagi.

Apa bangsa ini hanya akan dihidupi dengan kekaguman yang berganti dengan hujatan saja? Tentu tidak. Memuji boleh, namun tidak perlu berlebihan yang akan membuat kekecewaan yang sama juga berlebihannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline