Kafir, Kristen, Nek Mati Dipentheng
Kafir, Kristen kalau mati disalib
Membaca, berdiskusi di media sosial akhir-akhir ini, apalagi kemarin ada yang menanyakan sudah tahukah ada pembakaran Alkitab di suatu kawasan yang banyak Kekristenan, jadi ingat pengalaman masa kecil. Ini asli yang saya alami. Desa saya, penganut Katolik Cuma kami sekelurga, Kristen Protestan sekitar 39 jiwa, dan semua Moslim. Pesantren bahkan ada lima.
Hanya satu adik kelas kalau melihat saya, pasti mengatakan, Kristen, nek mati dipentheng, atau kafir, kafir. Nada datar, bukan mengolok, atau menghina, entah apa juga motivasinya, atau mendapatkan pengajaran dari mana, karena dari seluruh desa ya hanya satu itu yang selalu mengatakan itu. Sama sekali tidak menjadi soal dan masalah.
Refleksi saya kini, apa toh beratnya dikatakan kafir oleh pihak lain, kalau saya, yang sejak awal dua puluhan sudah mulai beruban, dan di sisi kanan atas mata itu putih duluan, ada yang memanggil belang, dan itulah bagi saya, mereka melihat saya si belang, atau si kafir. Tidak ada bedanya, patut sakit hati atau sedih kalau Tuhan Sang Pencipta yang mengatakan kamu kafir, itu sudah tamat.
Tujuan manusia hidup itu akan kembali ke pangkuan Tuhan bukan? Artinya, urip mampir ngombe,akan kembali ke Tuhan. Tentu semua dari Tuhan yang sama, akan kembali ke Tuhan yang sama. Saya yakin Tuhan manusia itu sama kog. Seumpama, mau kembali itu menggunakan jalan yang berbeda, atau moda yang berbeda, ada yang naik pesawat, ada yang naik bus, ada yang naik kapal, ada pula yang jalan kaki.
Misalnya mau ke Jakarta, dari Semarang, naik kapal dari Tanjung Emas ke Tanjung Priok sekitar dua belas hingga dua puluh empat jam. Apa yang disaksikan penumpang kapal, ada ikan terbang, matahari terbit atau terbenam yang sangat indah, goncangan kapal yang keras kalau pas ada alun, atau angin yang sangat menyegarkan, atau panas terik karena matahari sangat panas di musim kemarau, misalnya. Semua ini tentu tidak akan dialami penumpang bis atau pesawat. Khas penumpang kapal tentunya.
Dari bandara Ahmad Yani menuju Halim atau Sukarno-Hatta, tidak akan sampai dua jam. Sejam sudah berpindah ke kota Jakarta. Apa yang disaksikan sangat berbeda dengan yang dilihat oleh penumpang kapal dan bus tentunya. Penumpang pesawat bisa saja melihat awan lebih dekat, atau laut dan hutan yang indah dari atas. Gedung-gedung tinggi di bawah itu hanya kotak-kota yang nampak kecil dari atas. Penumpang bis tidak bisa melihat itu, apalagi penumpang kapal.
Penumpang bus yang hanya menjalani laku kurang dari 10 jam sudah sampai Jakarta. Apa yang disaksikan jejeran warung, ruko yang makin menjamur, atau arus berlawanan dengan anek bis, mobil, motor, dan kadang meliwati sedikit hutan di sana-sini, atau melihat laut di kejauhan seperti di pantura. Tidak akan bisa melihat ikan layang atau kotak yang padahal gedung bertingkt kalau dari atas bis.
Pejalan kaki, bisa berhari-hari baru tiba di Jakarta. Apa yang disaksikan tentu berbeda dengan apa yang dialami yang naik bis, kereta, atau kapal, dan pesawat. Ia bisa berkisah soal perjumpaan, mungkit kesakitan, dan juga kedinginan dan kepanasan yang amat sangat.
Apakah salah apa yang dialami si pejalan kaki yang telapak kakinya melepuh? Logis tidak ketika yang naik pesawat mengatakan mana melepuh wong tidak capek juga? Atau kog bisa melepuh, kan ada pendingin udara?