Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Lulung Menyusul Fahri Hamzah, Pimpinan Dewan "Independen"

Diperbarui: 19 Maret 2017   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usai Fahri Hamzah bersikukuh dengan posisi wakil ketua dewan, paska dipecat oleh parpol yang mendudukannya, apakah kini Lulung juga berlaku demikian? Akan terjadi dengan dalih sebagai wakil rakyat dan bukan wakil parpol, kemudian menuntut di pengadilan dengan berbagai dalih dan kengototan sebagai praduga tak bersalah, akan membuat cerita makin panjang, yang jelas kursi empuk masih nyaman diduduki, meski tanpa legalitas parpol pengusungnya, atau pura-pura lupa kalau yang menjadikannya adalah parpol bukan rakyat pemilih.

Berbeda itu esensi demokrasi, namun berbeda sikap dan ide bukan berseberangan dengan parpol tentunya. Selama ini apa yang kita saksikan adalah perbedaan dukungan dan gagasan semata dengan pimpinan dan ujungnya adalah pemecatan. Jarang terdengar ada perbedaan esensial atau ideologis yang mencuat, hanya semata karena beda dukungan pada calon pimpinan semata, yang ujung-ujungnya adalah kursi.

Berbeda dengan pimpinan berarti dipecat, sikap ksatria beda prinsip dan keluar belum  membudaya, yang ada adalah sebaliknya, tahu berbeda pilihan dan sikap meskipun tidak mendasar namun masih saja bersikukuh untuk tetap merasa sama dan tetap mempertahankan kursinya. Jika demikian, perjuangannya itu untuk bangsa dan negara atau kursinya sendiri?

Ideologi masih jauh dari parpol apalagi politikus. Lihat saja bagaimana selama ini terjadi, di suatu hari, suatu tempat, parpol atau politikus A dicaci maki, namun waktu dan tempat yang berbeda bisa saja saling rangkul dan jabat erat seolah tidak pernah ada caci maki. Ini bukan soal politik itu cair atau tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik, namun politik minim etika, sehingga perjuangan itu kursi dan melupakan apapun demi kekuasaan itu. Sejatinya tidak demikian jika politik yang bermartabat. Masih ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, paling tidak ada ideologi dan platform partai, bagaimana bisa parpol yang bertolak belakang bisa menyatu kecuali demokrasi akal-akalan a la Indonesia. Mengapa demikian? Karena miskin etis dan moral di dalam berpolitik.

Apa yang bisa dibuat agar politik Indonesia lebih bermartabat?

Pertama, kaderisasi yang jelas, berjenjang, dan tahan uji. Lihat saja sekarang ini bagaimana hari ini ada di parpol A besok di parpol C yang bertolak belakang visi dan misinya sekalipun asal ada kekuasaan diembat. Perpindahan parpol ada syarat khusus, misalnya lima tahun. Jangan karena banyak uang bisa berbeda parpol hanya dalam hitungan bulan.

Kedua, budayakan sikap berbeda itu biasa, jika menyangkut yang prinsip jelas keluar, tidak perlu dipecat, apalagi masih bersikukuh tidak salah dan dengan dalih hukum malah menggantung banyak pihak demi egoisme sendiri.

Ketiga, penyederhanaan parpol dengan ide ideologis. Selama ini toh yang ada tidak ada gunanya, bagaimana mungkin parpol agamis bisa mengusung calon dari agama lain misalnya, atau parpol nasionalis namun berasyik masyuk dengan parpol yang jelas-jelas berciri radikal sebagai contoh. Saatnta penyederhanaan parpol untuk hemat beaya politik mahal tidak berguna bagi bangsa ini.

Keempat, politik Indonesia masih berpusat pada uang dan bukan kinerja atau ide. Artinya, siapa yang banyak uang masih bisa membeli pendukung termasuk hukum. Akibatnya adalah siapapun yang kaya akan bisa menjadi apa saja. Hal ini yang membuat bangsa ini kacau balau, karena yang berkompeten namun tidak memiliki kelebihan harta akhirnya menepi dan tidak mau tahu tentang keadaan negara. Hal ini dari pusat hingga daerah bahkan tingkat terbawah pun sudah terkontaminasi.

Kelima, revolusi mental itu yang utama dan pertama harus dari orang politik dan parpol terlebih dahulu, bagaimana mereka inilah pemberat laju perubahan dan pembangunan dengan produk hukum dan politik bias mereka. Mereka lebih mendukung parpol dan kursinya daripada bangsa dan negara lebih luas.

Keenam, modernisasi parpol. Selama ini parpol sama dengan ketua umum. Kultus individu perlu disingkirkan, apa yang terjadi bukan karena kemampuan namun karena keturunan dan kadang tidak juga mampu. Tidak salah dengan darah namun jika mampu. Salah satu ciri modern adalah berani menyerahkan kepada ahlinya, bukan karena keturunannya. Biarkan parpol dikelola dengan modern dan jika berbeda secara prinsip mundur, bukan ngotot merasa berjasa atau apa pun itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline