Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Mudahnya Menuding: Berkaca dari Kasus Pegawai MA "Mencakar" Polisi

Diperbarui: 14 Desember 2016   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mudahnya Menuding: Berkaca dari Kasus Pegawai MA “Mencakar” Polisi

Membaca berita ini, jadi ingat, ada rekan guru yang “suka” mengajari rekan guru lain cara mengajar dan menyatakan salah model dan pendekatan rekan lain. Suatu  hari dalam rapat rutin, guru ini mengatakan bahwa metode mengajar guru olah raga salah. Dia menyatakan kalau mau latihan passing atas bola voli itu, murid berkeliling dan guru olah raga ada di tengah. Rekan guru ini mendengarkan dan bertanya, siapa yang diajar dan siapa yang mengajar, guru ain itu menjawab jelas guru dan murid, kalau ide demikian, dengan murid 30, berarti sang guru passing sejumlah 30 kali dan muridnya masing-masing sekali.

Peristiwa soal pegawai MA dan polisi ini pun sedikit banyak identik. Bagaimana pegawai MA ini hendak menyatakan bahwa polisi harusnya bertugas di tempat di mana ada kemacetan, membantu untuk mengurai kemacetan, bukan di tempat yang lancar. Dari sisi ini baik dan setuju karena memang banyak ditemui dan disaksikan keadaan tersebut, bahkan tidak jarang mobil polisi dengan sirinenya minta jalan, padahal tanpa ada yang dikawal. Namun apakah hal ini tepat, apalagi jika dibalik dengan melihat kinerja MA?

Pertama melihat kinerja polisi, hampir di tempat-tempat rawan memang jarang ada polisi, bahkan di banyak tempat yang rawan macet karena pertigaan atau perempatan tanpa lampu, ada pos polisi, yang “membantu” mengatur malah supeltas, dan polisinya enak-enak duduk-duduk . Bisa dimengerti  kalau menyatakan demi bisa memberikan “lapangan kerja atau rezeki bagi yang  lain.” Lha kalau begitu buat apa ada polisi dan pos di sana? Kritikan ini bisa dimengerti dan dipahami, namun caranya tentu tidak elok jika memang benar marah-marah seperti itu.

Kedua, ada tanggapan dari pihak MA, bisa saja karena panas dan macet, sehingga ada yang marah, dikatakan kalau demikian, mengapa hanya satu yang marah, lebih panas juga pemotor yang tidak terlindungi. Kalimat yang seharusnya tidak keluar dari pejabat yang anak buahnya melakukan ulah tidak patut. Soal macet di desa-desa saja sekarang mulai macet, bukan pembenar untuk marah apalagi melakukan kekerasan, jika memang demikian.

Sikap dalam memilih berkendara justru lebih penting. Panas tentu tidak bisa dipahami, karena ini mobil dan sekarang jarang mobil tanpa pendingin udara, beda jika itu motor. Alasan terlalu mengada-ada. Ada pembelaan dari kerabat bahwa memang saudaranya mudah marah ini jelas lebih bisa diterima akal sehat.

Ketiga, patut diapresiasi reaksi polisi ini yang tidak membalas dengan tangan apalagi senjata api. Reaksi spontan yang sangat wajar bisa terjadi, kalau sebagaimana pejabat MA mengatakan panas, tentu lebih panas polantas yang berjaga di sana, dari pada di balik kemudi tentunya. Bisa saja salah  tempat namun apa pegawai MA itu tahu bahwa memang tugasnya di sana bukan di daerah yang macet?

Keempat, kritik dan kritis jelas harus dan boleh, namun apakah sudah sesuai dengan apa yang pihak lain jalani atau hanya karena melihat dalam kacamata pemahaman sendiri? Namun hal ini bisa menjadi cermin bagi semua pihak untuk mengambil hikmah agar tidak ada kesalahpahaman di mana ada tempat macet tanpa polisi, sedang di tempat lancar ada polisi.

Kelima, masukan dan memberikan teguran memang harus namun tentu dengan cara yang baik. Jangan karena sudah memiliki persepsi sendiri, tanpa tahu yang sebenarnya kemudian mengatakan sesuatu yang menyakitkan apalagi hingga melakukan tindak kekerasan.

Keenam, pembelaan dari lembaga atau korp sering berlebihan. Ini menjadi pelajaran bersama agar  berani mengatakan salah sebagai salah tanpa ada alibi, pembenar, dan alasan yang dibuat-buat, buat polisi ataupun MA. Penyakit ini harus disembuhkan dan hentikan segera. Tidak menambah baik malah menambah celaka iya. Hampir selalu kalimat normatif yang keluar, tidak akan melindungi pegawainya, namun bahwa pegawainya hanya bereaksi, atau mencari dalih dan kambing hitam yang justru memperlemah posisi sendiri. Ini selalu berulang termasuk kalau polisi berkelahi dengan TNI pasti kalimat salah paham dan diselesaikan dengan baik.

Ketujuh, kembali seleksi menjadi penting. Emosional seperti ini sangat berbahaya, meskipun ada pembelaan dari keluarga yang menyatakan itu menggapai seperti mencakar, namun dinegasi sendiri bahwa saudaranya mudah marah. Artinya apa? Bahwa  konsekuensi atas jabatan termasuk ASN adalah menjadi abdi masyarakat. Jika berkelahi, arogan, dan menang sendiri, mau dibawa ke mana negeri ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline