Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Pak Jokowi, Awas Jadi Pak Harto Kedua!

Diperbarui: 8 Desember 2016   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo mengungkapkan kemarahannya saat menjawab pertanyaan wartawan terkait pencatutan nama Presiden dalam permintaan saham Freeport di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/12/2015). Presiden menilai bahwa tindakan itu melanggar kepatutan, kepantasan, moralitas dan wibawa negara. (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Dewan, lembaga yang paling banyak melahirkan kontroversi adalah periode ini, soal prestasi jangan tanya, tetap tidak beranjak. Dari usai pilpres hingga kini lahirnya hanya kontroversi dalam kaitan perebutan kursi dan kekuasaan. Paling tidak untuk mengingat, pemenang pemilu tanpa palu hanya penonton karena adanya KIH dan KMP, bukti demokrasi akal-akalan dan okol-okolan.

Dilanjutkan pimpinan dewan tandingan usai alat kelengkapan disabot dan dimiliki oleh semua KMP. Berbulan-bulan tanpa kerja, akhirnya bisa selesai juga. Lahir lagi ide-ide brilian untuk pembangunan (7) gedung megaproyek, klinik, adanya pelaporan pimpinan yang melenceng kala ke USA, ketua kena skandal papa minta saham, pelengseran dengan mahkamah dagelannya, dan pergantian pimpinan, adanya pimpinan tanpa partai.

Terbaru manuver ketum Golkar yang luar biasa. Diawali dengan membajak pencalonan Jokowi untuk 2019, bisa saja berkaitan dengan kisah akhir tahun lalu soal papa minta saham, kemudian mengambil alih lagi kursi ketua pimpinan dewan, dan penugasan yang multiinterpretasi kedua wakil pimpinan ke luar negeri bebarengan dengan aksi akbar awal Desember beberapa waktu lalu.

Orba, kedudukan dewan hanyalah tukang stempel dari eksekutif. Anggota hampir sebagian besar ditentukan Pak Harto pribadi bersama Golkar. Jelas saja dengan mudah terbaca bahwa dewan tidak akan bisa kritis, mengawasi, dan mengontrol karena keberadaan mereka jelas karena “jasa” Pak Harto. Tidak heran tidak pernah terdengar interupsi kala itu, interupsi sama menakutkannnya dengan penistaan agama kalau hari-hari ini. Dewan sangat jelas dalam lagu Iwan Fals di mana anggotanya tidak jelas yang penting dengan Golkar dan penguasa, puluhan tahun sama saja, apalagi pemenang pemilu sudah diketahui sebelum pemilu direncanakan.

Pak Jokowi sangat bisa menjadi model Pak Harto membuat Si Kura-Kura Hijau cuma duduk, ngantuk, dan pulang, kalau tidak hati-hati. Paling tidak ada dua hal yang bisa membuat hal tersebut, meskipun dari sisi Pak Jokowi tidak seperti itu. Justru yang memperlemah dari Kura-Kura sendiri. Mereka menjadi “pelayan” eksekutif, apa maunya eksekutif diiyakan dan dilanjutkan karena:

Pertama, kasus papa minta saham tetap saja menghantui ketua Golkar dan DPR Setya Novanto. Susah untuk melepaskan noda ini meskipun MKD, peradilan menyatakan “bersih”, tetap saja sangat mudah dipakai sebagai kartu truf kala dewan membuat ulah. Meskipun seolah tidak ada tindak lanjut sudah setahun ini, toh politik tidak pernah bisa diketahui alur dan arahnya, sama tidak jelasnya dengan bemo dan becak kalau di jalan raya. Artinya, kedudukan dewan sangat lemah dan rentan tersandera oleh ulah pimpinannya, dengan dua yang lain yang sering berlebihan dalam menyatakan sikap kritisnya.

Kedua, belum jelas ke mana arah dukungan ke Jokowi yang sangat dini ini, apakah mau cari aman dari kasus papa minta saham, atau mau jadi RI-2 dengan kendaraan yang dimiliki. Melihat dukungannya selama ini sangat mungkin keduanya saling melilit yang jelas demi kepentingan sendiri. Toh dapat semuanya, aman dan kursi. Belum lagi usai menduduki kursi langsung mewacanakan memberikan kursi wakil kepada PDI-P sebagai pemegang kursi terbanyak di parlemen. Arahnya jelas dewan sangat suportif kepada eksekutif.

Sebenarnya hal ini baik jika benar-benar demokrasi bernurani telah ada di Indonesia. Dewan bersikap mendukung eksekutif dengan kritis dan bertanggung jawab. Tugas pengawasan bisa benar-benar terjadi secara obyektif, transparan, dan ketat. Pemerintah tidak bisa sewenang-wenang namun dewan juga tidak berlaku seenaknya sendiri.

Tentu kita paham bahwa pola berdemokrasi kita masih jauh dari itu, kekhawatiran bisa saja hinggap bahwa dewan dipakai oleh ketua untuk memenuhi hasrat pribadinya. Apa yang sekiranya bisa terjadi?

Mencari aman dan kesempatan untuk jadi RI-2 tentu dengan mengamankan apa pun keputusan pemerintah tanpa adanya sikap kritis dan pengawasan yang semestinya. Jika demikian akan terjadi lagi legislatif yang jauh dari harapan, meskipun selama ini juga berlebihan bukan semat kritis namun cenderung berlebihan.

Memberikan angin segar, peluang, menyenangkan pemerintah dengan berbagai cara. Bisa saja mempercepat pengesahan UU atau yang lain demi memuaskan pemerintah, ujung-ujungnya menyandera dan meminta kompensasi, tidak ada makan siang yang gratis tentu masih menjadi inti keyakinan di dalam berpolitik bangsa ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline