Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Ahok yang Punya Alternatif Dobel Jalur dan Calon Lain yang Belum Punya Cara

Diperbarui: 22 Juni 2016   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TRIBUNNEWS / DANY PERMANA

DKI-1 makin panas. Gelaran pesta rakyat yang masih setahun lagi itu telah menelurkan ahli-ahli dalam berbagai hal, ada yang tiba-tiba ahli ngeles, mengalahkan pendiri lembaga bimbingan belajar, ada yang jawara membelokkan berita, mengalahkan tukang las, ada pula yang tiba-tiba rajin keluar masuk pasar dan kawasan yang bisa saja seumur-umur belum pernah ia lakukan. Ada pula yang menelurkan ide seolah luar biasa, namun sejatinya tidak ada gunanya.

Manuver demi manuver, pimpinan parpol yang tidak punya kursi melamar ke pemenang pemilu, orang yang salah terus kalau berbicara, namun tetap pede untuk melaju, ada pula yang tiba-tiba merasa hebat di bidang politik dan pemerintahan sedangkan pekerjaan utamanya malah vakum. Tarik menarik, saling perang opini yang berdasar namun tidak jarang asal bicara, dari warung kopi hingga gedung dewan paling agung, semua ikut. Artinya bahwa warga sudah melek politik, ini baik dan menggembirakan.

Ahok yang merasa akan “dikerjain” parpol pada menit terakhir pencalonan, membuat gebrakan dengan mencoba jalur independen. Tidak disangka hal ini membuat kehebohan, maka lahir istilah deparpolisasi yang makin membuat moncer independen. Lahirlah Teman Ahok yang dinamakan sebagai bus berhadapan dengan sedan mercy yaitu parpol. Pilihan yang dipakai untuk menghantar menjadi gubernur. Tidak heran kerja keras anak muda ini menghasilkan sejuta kopi KTP dan harusnya seorang mantan manusia yang terjun dari Monas.

Dewan tingkat pusat pun bergerak sangat cepat dengan membuat UU pilkada dengan tidak pakai lama. Namun ujungnya bisa bersama dimengerti, maju ke MK. Soal hasil nanti dulu, yang jelas membuat calon independen susah minta ampun. Parpol yang galau seperti cacing kepanasan juga bermanuver luar biasa lucu. Ada yang realistis mendukung apapun cara Ahok, dan akhirnya Ahok memiliki dua karpet terbang. Mau independen bisa, mau jalur parpol pun dapat. Semua sah secara hukum, tidak ada yang salah dengan pilihannya. KTP yang sejuta itu untuk cadangan kalau parpol main-main.

Ide awalnya adalah parpol yang ditengarai akan main-main, malah menjadi bingung sendiri dengan pola main Ahok. Sebentar independen, sejenak mendekat ke partai. Artinya bahwa parpol malah dipermain-mainkan oleh Ahok. Rivalnya yang beberapa bulan lalu memperlakukan Ahok dengan garang sekarang semua tiarap. Mereka malah sama sekali belum ada kejelasan.

Haji Lulung yang nyaris tak terdengar, tidak masuk kelompok elit dari MPJ, Yusril juga belum ada kejelasan karena kalau independen kelihatannya sudah tidak cukup waktu dan tentu jauh lebih susah karena sudah terpotong sejuta. Setali tiga uang dengan Adyaksa Dault yang mengatakan cara yang sama, masih belum juga beranjak, beda kalau gerilya dalam diam dan langsung abakadabra sejuta KTP. Pak Jarot dengan relawannya, namun menunggu pula PDI-P yang sama sekali belum ada signal jelas.

Peringatan untuk Parpol

Pengalaman di Surabaya, Pacitan, dan daerah lain, menunjukkan parpol hanya mencari kekuasaan dan kursi, tidak mau kalah dan berani menghadapi kenyataan. Kalah dan menang itu biasa dan wajar di dalam perebutan kekuasaan di dalam berpolitik. Politik yang sehat itu siap menang berarti siap kalah dan tidak melarikan diri dengan tidak mencalonkan, apalagi calonnya melarikan diri karena jerih dan merasa pasti kalah.

Parpol tidak tahu tugasnya, revisi UU pilkada jauh lebih mendesak soal pertanggungjawaban parpol kalau ada kasus seperti di Pilwako Surabaya yang lalu, bukan malah fokus pada jalur independen. Kecerdasan dan kedewasaan parpol memang sebelas dua belas dengan mentalitas mereka yang tidak berkualitas serta kemalasan mereka di dalam bersidang dan rapat.

Parpol gagal, salah satu kegagalan parpol itu kala tidak punya kader yang mumpuni. Bila mumpuni tapi maling, sehingga akhirnya demokrasi akal-akalan, saling bajak atau teletubis,di pusat bermusuhan di daerah berpelukan. Ini menunjukkan sikap tidak berideologi, hanya soal kursi.

Parpol itu dinamis, dan orientasi kekuasaan, namun tidak boleh lupa soal etis dan moralitas. Jangan menjadi jargon yang seolah benar mutlak bahwa kepentingan yang abadi itu sama juga dengan membenarkan segala cara. Jika demikian, apa bedanya dengan preman dan maling berdasi? Selama ini atas nama demokrasi bisa berbuat seenak udelnya dan melepaskan ranah etis sehingga bisa memutarbalikkan fakta pun tidak salah. Ini jelas tidak seharusnya. Tidak heran kampaye hitam dan jahat sangat berperan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline