Menarik sepak terjang dan tingkah polah untuk menghambat indepen (Ahok, secara khusus) dengan berbagai cara. Mau menaikan angka dukungan, akhirnya gagal, mau ada materia pada setiap lembar dukungan, akhirnya yang bisa gol adalah soal verifikasi faktual dan pendukung harus sudah masuk pada DPT pada pemilihan sebelumnya. UU yang dibantu Bandungbondowoso saking cepatnya ini langsung membuat “perseteruan” KPU dan Komisi II yang saling lempar tanggung jawab. Ngeles siapa yang lebih berperan untuk menjadi “penjegal.” Ini akan berkepanjangan seperti ayam dan telor mana duluan dan ujungnya debat kusir. Paling tidak bisa dilihat siapa yang paling merasa “terancam” dengan perilaku yang berbeda dari Ahok ini. mengapa Ahok bukan independen? Independent itu sudah berkali-kali, mengapa hanya kali ini jadi ramai? Karena Jakarta? Lha kemarin pas zaman Pak Foke juga ada independen dan gak ngaruh, gak ribut, dan gak ada upaya aeng-aeng? Bisa dilihat juga rekam jejak di antara dua lembaga ini, baik mana di dalam memikirkan bangsa KPU atau dewan? Dari rekam jejak dan yang paling “terancam” inilah bisa dinilai mana yang lebih “lepas kepentingan” dan di sisi lain “lebih berperan menjadi pemain yang melakukan sliding dengan tidak elok”, lebih layak mendapat kartu merah kalau main sepak bola.
Dewan, soal isi Kura-Kura Hijau ini jangan lah dipertanyakan soal kinerja mereka. Kita bisa melihat model mereka. Pertama, mereka bisa dengan secepat kilat kalau membuat produk yang menguntungkan mereka dan “mematikan yang dipandang lawan”, ingat soal palu ilang pas piilihan ketua dewan, membuat UU MD3, UU Pilkadatidaklangsung yang seusia jagung, dan model-model itu. Bejibun RUU yang mangkrak, namun yang satu ini bisa begitu cepat, patut curiga ada kepentingan, dan hasilnya benar juga ada yang tidak beres dan bisa ditebak akan berakhir di meja MK entah oleh TA atau oleh KPU. Kedua, mereka biasa membuat UU atau produk yang “menyengsarakan” pihak lain, pokoknya mereka bersih. Lempar tanggung jawab ke KPU, entah mau apa dan bagaimana KPU mengerjakannya, yang penting mereka seolah cerdas dan mau pontang-panting pihak lain, emang pekerjaan siapa? Ide-ide selama ini apa coba yang dipakai untuk kesejahteraan bersama? Untuk mereka sendiri cerdas luar biasa, soal klinik, gedung baru, staf, perpustakaan, dan ide yang lainnya, ide begitu saja yang berkutat di benak mereka. Ketiga, KPU memang mandiri, tidak bisa diintervensi, namun siapa yang memilih mereka? Dewan kan? Siapa yang bisa panggil KPU atau dewan? Dewan, di mana mereka berdiskusi? Di kantor dewan bukan? “Kekuasaan”, jelas lebih kuat dan besar dewan, sangat kecil kemungkina KPU yang memiliki kepentingan, meskipun tidak bisa dengan semudah itu mempercayai lembaga yang produk dewan, lha MA saja maling, apalagi lembaga yang bisa membuat seorang menang dan kalah dalam pemilu. Keempat, UU dan peraturan KPU tentu jauh lebih kuat dan bertaji di dalam menjerat dan bisa menjatuhkan atau membantu seorang calon.
KPU,lembaga ini memang tampilannya saja mulus, obyektif, dan masih bisa dipercaya hingga hari ini. Namun apakah seperti itu? Sepanjang sejarah ini belum ada persoalan yang menjerat mereka di dalam jual beli berkaitan dengan “peraturan” dan main “menang dan kalah”. Beberapa kisah yang menjerat hukum memang sudah ada, namun berkaitan dengan pelanggaran soal anggaran yang ujungnya maling uang, beberapa memang sudah masuk bui soal demikian. Apakah main uang di sepanjang jenjang dan tahapan pemilu bisa terjadi? Bisa saja, apalagi kalau mengingat produk dewan susah diyakini “kebersihannya”. Bisa saja mereka orang parpol dan selundupan parpol yang selama ini membuat kisruh demi kisruh, ini memang terlalu pesimis dan sangat tendesius, namun sekelas ketua MK saja bisa maling apalagi KPU. Memang masih cukup bersih dan belum ada pemberitaan apalagi pengakuan soal main mata di KPU ini. Semoga saja tidak terkontaminasi, ketika wasit ini ikut main mata sebagaimana politikus selama ini.
Melihat sepak terjang, perilaku, kepentingan, dan kekuasaan yang dimiliki, cenderung komisi dua yang jauh lebih memiliki kepenrtingan untuk menjegal calon gubernur. Bahwa KPU juga tidak seperti anak yang sangat lugu bisa saja, namun selama ini belum sekotor kebiasaan dewan dalam melakukan trik-trik licik dalam permainan mematikan pihak lain.
Mengapa muncul kecurigaan demi kecurigaan? Karena sejarah panjang kinerja dewan yang sangat buruk dan penuh kepentingan. Tidak ada yang salah soal kepentingan itu, sepanjang demi kepentingan umum, bangsa dan negara, di atas kepentingan golongan dan diri sendiri. Keberanian melepaskan kepentingan kelompok ini masih jauh dari harapan. Siapa yang bisa mengubah keadaan? Jelas saja anggota dewan sendiri. Mangkir sidang saja jadi kebiasaan, mana bisa berpikir demi bangsa dan negara. Sejatinya mereka ini tidak banyak namun sayangnya dominan dan lebih memiliki kebiasaan memaksakan kehendak. Akhrinya, dewan menjadi cemoohan dan dagelan yang tidak pernah berakhir.
Apakah akan demikian terus menerus?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H