Sepuluh Ketidakelokan jika Yusril Diusung Parpol Besar apalagi PDI-P dan Demokrat
Ada beberapa hal yang lucu, ironis, dan aneh, jika parpol kecil seperti PAN, PKS, dan lainnya mengusung Yusril. Lebih tragis lagi jika itu PDI-P dan Demokrat. Bagaimana tidak sedangkan ada beberapa hal kecil yang seperti berikut;
- Pelajaran politik, promosi bukan degradasi,di dewan, setelah sekian lama di tingkat dua harus ke satu dan suatu saat ke pusat, jangan menjadi aneh dan terkesan yang penting kuasa, kemudian dari menteri tidak salah nyalon gubernur kemudian kalah, apa mau juga nyalon bupati di tempat kelahirannya sana? Jika menyatakan hendak mengikuti pengalaman Jokowi. Presiden mulai dari paling bawah naik, dan mentok di presiden. Itu promosi, jangan ikut model sepak bola, tahun ini jawara esok entah ke mana. Pelajaran politik yang penting, jenjang karir bukan karena tenar kemudian bisa di atas namun susah mempertahankan.
- Pelajaran politik berikut, ideologis,bergelar ahli hukum tata negara, sebagai bekas menteri di tiga kabinet, seharusnya beliau mengajarkan yang terbaik di dalam berpolitik dengan menghargai asas dan ideologi, bukan malah seeaknya sendiri. Apa bisa masuk ideologi PBB dengan PDI-P itu? Berbeda dengan beberapa partai lain yang masih senafas lah. Mendasar lho soal ideologi parpol ini, bukan hal yang sepele sebenarnya.
- Pelajaran politik selanjutnya, menang itu kuasa, kalah itu usaha. Kan aneh bin ajaib kalau kursi saja tidak punya kemudian pinjam kursi temannya yang masa pileg adalah seteru,kalau demikian kacau balau tatanan politik karena kalah atau menang ya sama saja. Memberikan pembelajaran politik, kalau kalah yang berusaha lebih keras untuk meyakinkan massa agar bisa membaca dan meyakini bahwa ide dan ideologisnya bisa menyejahterakan warga, bukan dompleng pemenang yang bertolakbelakang dengan gagasan dan ideologis parpolnya.
- Menghormati pemerintah yang sedang berkuasa, kritik bukan berarti mencela. Rasa hormat itu tipis, tidak pantas sebagai negarawan atau daerahwan.Berkali-kali mencela, ingat bukan memberi masukan dan mengritik, baik ke Pak Beye, Bu Mega, Pak Jokowi. Bagaimana pemimpin yang selalu saja mencela pemerintahan, namun pas butuh memuji-muji setinggi langit. Perlu dibenahi sehingga bukan jadi bangsa pencela. Lha kalau rakyatnya saja tidak menghormati, mana ada bangsa yang mau menghormati bukan?
- Kalau beda meledek dan melecehkan, pas sama memuji-muji,jelas sangat tidak elok lah sebagai seorang pejabat publik. Model demikian, cara sinis dan nyinyir cocok dengan karakter film barat saat menjadi pengacara, lebih baik tekuni kepengacaraan ini, lebih elok lagi membela negara dan daerah menghadapi pencoleng, dan baru maju meminpin daerah dan negara. Selama ini saja malah membela maling negara dan melawan penegakan hukum yang karut marut. Kan beliau sebagai ahli para ahli bisa memberikan masukan kepada negara, ini lho kelemahan kita kalah dengan maling, bukan malah membela maling, ingat kejahatan paling jahat itu orang baik yang tidak mengatakan adanya kejahatan.
- Selama ini nyerang kebijakan pemda DKI, juga bertarung dengan kementerian dan pemda di daerah,ironisnya itu di mata masyarakat adalah membela kejahatan. Pemda Jateng kalah, beberapa tersangka maling lepas, berwacana bahwa pemprov DKI tidak manusiawi, lha coba model bagaimana bisa menertibkan Jakarta ala Yusril. Jangan khawatir dijiplak Ahok, ada youtube, ada rekaman, bisa digugat balik kalau dijiplak Pak Ahok, dan waktu setahun tidak akan cukup menjabarkan ide yang bukan miliknya. Soal ide yang amsih disimpan ini hanya akal-akalan, sama sekali tidak ada ide itu.
- Kejagung saja berkali-kali kalah, apalagi biro hukum daerah, waduh hebat benar ya, kalau beliau tahu di kejagung banyak celah sehingga dipecundangi maling dan pengacaranya, sedangkan beliau mau maju menjadi presiden di suatu saat nanti, lha jangan-jangan KPU dituntut beliau dan pasti kalah, wah lebih menakutkan dari Mbah Harto kalau demikian. ini menandakan beliau tahu dengan pasti dan persis entah secara hukumnya, kualitas orangnya, atau sistemnya, memang lemah, ini kurang ajar, calon pemimpin diam saja negaranya dibangun di atas pasir, jelas sangat tidak layak.
- Jiwa sportif sebagai politikus,mimpin parpol sendiri saja amburadul dan tidak laku, sportif berarti bertanggung jawab dong pada pengurus dan pemilihnya, bukan malah lari dan meninggalkan begitu saja anak buah yang sekarat. Apa bedanya dengan komandan militer, dia pindah ke kubu lain, anak buahnya meregang nyawa di lapangan? Bagaimana pertanggungjawaban masa pileg lalu? Ada satu, dua mungkin yang masih ada di daerah, lha mau apa kalau pimpinannya sudah melamar di parpol lain?
- Pengalaman birokrasi pemerintahan belum teruji.Kementerian belum banyak melibatkan hampir seluruh kemampuan. Lebih profesional dan terbatas. Bagaimana menghadapi rewelnya anak-anak di geung dewan yang rakus, bengal, dan bebal itu. Menghadapi anak-anak di jalanan yang lapar, anak-anak di pinggir kali yang begitu banyak, banjir yang menggenangi, dan begitu kompleks menjadi gubernur itu.
- Melihat rekam jejaknya, cara pandang belum luas,lihat selama ini soal legal sangat bagus dan luar biasa, namun soal sosiologis, antropologis, dan kerakyatan? Masih perlu banyak belajar. Mengelola bukan hanya soal legalitas lho.
Sekelumit catatan Pak Yusril yang perlu dibenahi secara pribadi dan parpol encermati agar tidak malah dipecundangi secara hukum suatu saat nanti. Masih ada waktu Pak Yusril membuktikan daripada beli sawi di pasar atau ngeteh di warung, bawa maling dan pedagang narkoba ke kuburan sana, jauh lebih bermanfaat bagi negara.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H