Ulang tahun ke 108, Budi Utomo, warna belajar berpolitik praktis sebagai basis perjuangannya malah memudar. Kala itu, berorganisasi, berserikat, berkumpul, dan apalagi berpolitik praktis seolah berkat luar biasa.
Di tengah gempuran perpecahan yang diciptakan penjajah, namun para muda anak bangsa memiliki trik cerdas untuk tetap dapat mengumpulkan kaum terdidik dan memiliki visi ke depan untuk bisa menganimasi bangsanya yang masih bersikap sendika dhawuh pada penjajah.
Persoalan dari kepemimpinan yang tumpas kelor, pimpinan menyerah, kalah juga perjuangan semuanya, kerajaan-kerajaan kecil yang memang disokong Belanda untuk merongrong persatuan dan kesatuan yang berpotensi mengusir mereka sendiri, hendak dijawab dengan perjuangan Budi Utomo.
Kabarmu kini, di usia 108, bagaimanakah perjuangan itu?
Dubes rasis, tentu kita masih ingat bagaimana beberapa waktu lalu, dari tanah negeri orang, seorang duta bangsa memberikan kritikan bagi seorang pimpinan daerah dengan nada rasis. Tentu bahwa hal itu sangat tidak elok, di tengah perkembangan bangsa dan dunia yang makin menuju kesatuan dengan membangun persamaan ini malah mencoba menawarkan membesarkan perbedaan.
Pimpinan dewan eh maling, baru kali ini ada pimpinan dewan terjungkal karena sangkaan mencatut nama pejabat tinggi negara. Meskipun tidak ada tindak lanjut, toh sudah terbukti dengan turunya kelas dia menjadi pimpinan kelompoknya sendiri. Ini hanya salah satu persoalan yang dihadapi dewan yang tidak pernah bertumbuh ini, soal maling, korup, tidak hadir sidang, dan hasil nol besar target sendiri tentu membuat miris pejuang diplomasi kala itu.
Petinggi lembaga negara satu demi satu terungkap langgar etika,era keterbukaan merupakan kemudahan dan memang bagian utuh yang tidak bisa ditolak. Terang dan transparan menjadi salah satu cirinya. Siapa yang suka dengan remang-remang dan gelap gulita, tentu akan tergilas oleh zaman, apa yang dipilih? Lebih baik berbuat jujur dan apa adanya.
Bagaimana blunder demi blunder oleh aparat tertinggi negeri ini, DPD rebutan kursi, petinggi MA yang main kasus, pimpinan BPK yang salah bersikap, yang harusnya profesional eh malah bersikap politis, dan banyak lagi.
Deparpolisasi, sikap parpol yang mengejar kekuasaan dan abai akan etis membuat banyak pihak lebih memilih jalur independen. Sikap reaktif bukan introspektif lebih menguar, sikap menohok, melawan, dan menyatakan bahwa bangsa ini diperjuangkan oleh parpol, maka parpol tidak boleh dideparpolisasi, parpol dulu tidak mbelgedes, beda dengan sekarang. Bagaimana kaderisasi tidak jalan, membeli dan kutu loncat, kader maling lebih banyak, dan bopeng parpol memang jauh lebih banyak, untuk saat ini.
Sektarian, seagama beda aliran sudah saling hujat dan buat rubuh tempat ibadah, dan rusuh, lha bagaimana dengan yang berbeda, maka sikap keras dan hujat sangat biasa. Sesuku, sedaerah, se...se....lainnya yang luar biasa lebih menggejala. Kesatuan hanya kala mendapatkan permusuhan yang identik, misalnya, kalau Malaysia melakukan tindakan sepihak, nasionalisme baru lahir.
Sikap bagaimana yang bisa dilakukan?