Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Film Eye in The Sky: Moral, Teknologi, Birokrasi, dan Militer saling Berperan

Diperbarui: 28 April 2016   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Film yang mengisahkan mengenai kegiatan fundamentalis dan pengejaran dengan melibatkan teknologi kekinian. Drone menjadi penunjuk terduga teroris yang telah ada di Kenya. Kolonel Katherinr Powell mengejar terduga kegiatan radikal ini selama enam tahun. Hari itu dijadikan moment untuk melakukan penangkapan. Dengan bantuan drone, seluruh petinggi negeri Inggris bisa menyaksikannya. Ide awal adalah penangkapan, gambaran siaran langsung yang amat ditunggu-tunggu, keyakinan tinggi, dan akan dengan mudah (dalam benak militer), akan bisa diselesaikan. Semua berubah ketika, para terduga teroris yang dikejar ini, termasuk warga USA, selain target utama warga Inggris, berubah ketika mereka sedang menyediakan video propaganda dan pemasangan rompi bom bunuh diri. Kolonel Katherine tetap pada pendirian untuk melakukan penyergapan, yang berujung kematian, ternyata menjadi masalah, bagi pejabat sipil.

Pilot Letnan Steve W disiapkan untuk melakukan eksekusi, ranah militer telah terhambat oleh birokrasi sipil yang tidak mau dituduh media dan warga karena adanya pembunuhan ditambah moral pilot yang tidak bisa melakukan eksekusi ketika ada anak kecil yang harus dan pasti akan enjadi korban karena berjualan di samping tembok rumah yang dipakai untuk persiapan rompi bom bunuh diri.

Keputusan kembali tertunda dengan diskusi bermacam-macam, karena melibatkan pejabat USA, ada anak di sana, dan tenologi drone yang belum diatur dalam perundang-undangan Inggris yang bisa menjadi bencana bagi birokrasi sipil. Militer dengan jiwa soal menjaga keamanan sangat tidak bisa menerima keadaan ini, di mana target di depan mata, harus memikirkan birokrasi dan korban yang belum tentu terjadi dan potensi bila bom bunuh diri diledakkan, yang sama belum terjadi juga. Militer yang jelas adalah lugas target di depan mata, sergap dan selesaikan, praktis dan selesai.

Beberapa hal bisa dipelajari dari film ini,

Pertama, tekonologi jelas sangat membantu , bahkan seperti sebuah siaran langsung. Apapun menjadi nyata dan jelas, namun ada pula kerugian, yaitu bagaimana pertimbangan-pertimbangan yang selama ini terabaikan bisa muncul dan bisa mengganggu banyak hal, tidak sesederhana perang atau penyergapan konvensional. Memang benar bahwa sangat membantu dan bisa meminimalkan banyak hal, korban, beaya, waktu, namun pertimbangan jauh lebih rumit dan kompleks. Teknologi bisa membantu sekaligus mengganggu. Lebih banyak membantu memang, ranah yang lain bisa meningkatkan nilai plus teknologi.

Kedua,  birokrat, cenderung politis, nama baik, jangan sampai mengorbankan mereka, bukan korban lapangan lho. Aman bagi mereka, jelas ciri khas politikus. Berlawanan dengan orang lapangan militer, yang penting perongrong negara aman dan bisa diatasi, hidup atau mati. Kalau bisa ditangkap hidup ya hidup kalau terpaksa mati tidak soal. Berbeda dengan birokrat, sipil, politikus, yang tentu akan mendapatkan propaganda keren kalau menangkap hidup-hidup, soal kesulitan, risiko militer. Jelas dan nyata konflik kepentingan soal perundangan dan birokratis yang tidak bisa sesederhana apa yang ada dalam benak militeristik.

Ketiga, militerisme. Militer memang bertugas soal keamanan. Keamanan menjadi prioritas. Tidak heran, apa yang ada di benak mereka ini burun kelas kakap  di depan  mata, sekian lama dicari, dan apa mau dilepas dengan mudah? Soal hukum, peraturan, dan risiko belakangan yang penting adalah keamanan negara. Menembak dulu atau ditembak, urusan adalah keamanan dan nyawa yang tidak bisa diduga.

Keempat,moral, letnan yang menjadi eksekutor utama ternyata moralnya berbicara dan tidak bisa menembak karena ada anak kecil.  Kritik kecil bagi film ini, yang secara umum  keren dan bagus, ada sebuah penolakan dari letnan kepada kolonel itu sangat tidak mungkin di dalam dunia militer. Bisa saja bahwa moral itu memang masih berbicara mengalahkan birokrasi dan perundangan buatan manusia. Nyawa anak kecil membuat  cerita bergulir dan menciptakan ketegangan makin meningkat. Penggambaran anak-anak yang polos dengan pemasangan rompi penuh bom yang sangat dramatis. Genangan air mata di pelupuk pilot yang harus melakukan tugas dengan “membunuh”

Sisi lain, ialah betapa mudahnya gerakan fundamentalis itu melakukan bom demi bom, tidak mengenal korbannya mau anak, bayi, atau nenek atau kakek, mau sipil atau militer, apa itu menjadi pertimbangan mereka? Kelihatannya tidak sama sekali. Padahal pemerintah, di manapun, akan mengadakan pertimbangan matang yang bisa saja dengan berdebat dengan bahkan mengalahkan kepentingan diri sendiri (gambaran letnan jenderal yang harus menyediakan boneka anabele untuk anaknya). Jika berhasil semua memuji dan ikut merasa berjasa, namun kalau ada sedikit saja kegagalan, jangan heran kalau akan keluar hujatan seperti jauh lebih jahat dari terorisnya sendiri.

Menyingkap sisi lain betapa tidak mudahnya melakukan operasi milier, bahkan terhadap pembunuh berdarah dingin sekalipun. Padahal mereka telah melakukan pembunuhan tanpa pertimbangan.  

Salam

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline