Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Tessy, KPI, Tukang Bubur Naik Haji, antara Perlindungan Anak atau Korporasi?

Diperbarui: 17 Februari 2016   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mas Kabul atau yang tenar sebagai Tessy sebagai nama panggung, dengan dandanan cuwek dengan banyak akik di jari, berujar, dia jatuh menyalahgunakan narkoba akibat depresi karena dicekal oleh KPI. Sepakat bahwa pengguna narkoba harus ditahan atau direhab, kemudian tampilan yang tidak mendidik harus dihentikan oleh KPI. Persoalan adalah, apakah KPI telah bekerja sesuai dengan kewenangannya, atau tebang pilih?

Pertama, soal penampilan perempuan oleh laki-laki sebagai alasan KPI untuk menyatakan bahwa tayangan tersebut tidak mendidik. Benarkah sepenuhnya demikian? Pelaku Arjuna dalam wayang orang biasanya perempuan karena hendak menggambarkan sosok Arjuna yang lembut dan menawan, lebih mudah memilih pelaku adalah perempuan. Dalam pertunjukan seni ludruk juga tidak ada pelaku perempuan, semua laki-laki. Apa artinya, bahwa yang berlebihan yang perlu dibenahi bukan pada pelaku individunya.

Kedua sepakat, bahwa anak-anak menjadi pemikiran yang kuat untuk dilindungi dengan pendidikan yang baik, namun pernahkah KPI tahu bahwa sinetron salah satunya Serial Tukang Bubur Naik Haji yang telah ribuan episode itu setiap hari hanya mengajarkan fitnah, berpikir jelek orang lain, pamer, iri hati, dan tindakan saling membully. Jangan berdalih banyaknya adegan dan pengajaran agam kemudian meniadakan nilai-nilai buruk yang lebih dominan itu. Kita tentu tidak pernah lupa lebih mudah belajar yang buruk dari pada yang baik. Bagaimana yang baik bercampur dengan yang jahat dan lebih dominan jahatnya bisa memberikan inspirasi yang dimaui?

Ketiga, ketika berhadapan dengan individu, seperti Mas Kabul, Mas Tukul, garang minta ampun pancung langsung, namun menghadpai korporasi, mana ada gigi. Empat Mata hanya ganti dengan Bukan Empat Mata dan masih saja eksis. Sinetron Anak Jalanan yang telah dikupas berkali-kali di K, ada petisi, ada laporan, saya pribadi pernah melapor, dan masih saja eksis.

Keempat, ketika pelaku itu berperan di sebuah acara, jelas bukan hanya satu pihak, ada banyak yang terlibat. Apakah Mas Kabul itu berperan atas kemauannya sendiri? Tentu bukan. Mengapa yang mendapat sangksi hanya pelaku saja?

Tentu semua sepakat bahwa pendidikan dan perlindungan anak di atas segalanya. Tidak akan ada yang menyangkal hal ini, termasuk menghukum yang melanggar norma dan aturan seperti black list, teguran, atau penghentian acara. Tidak ada yang salah dengan sikap tegas ini.

Apakah itu sudah dilakukan dengan semestinya, jujur, adil, dan tidak hanya pada pihak tertentu saja? Jika pelakon itu lemah, dari kalangan yang tidak memiliki potensi besar melakukan perlawanan langsung saja ditindak. Lihat bagaimana pelakon yang memiliki banyak amunisi bisa fans, kapital, uang dan koneksi lepas meskipun terbukti menggunakan narkoba, bisa diubah menjadi bukan obat terlarang, atau cara lain.

Pelakon dihukum, namun yang mempekerjakan, acaranya tetap saja berjalan kadang lebih buruk lagi isi dan materinya. Apakah ini berlebihan kalau mengatakan perilaku masih belum adil dan menyeluruh namun masih lagi-lagi menyasar yang lemah dan memberikan kemungkinan perlindungan bagi pemilik modal dan korporasinya.

Pemahaman dan penilaian kalau berisi soal agama dan banyak aktifiktas ibadah sudah memberikan pembelajaran. Perlu dikaji lagi apakah benar ritual keagamaan dan pendidikan itu sebagai yang utama atau malah hanya sebagai tempelan yang merupakan sarana untuk mengelabui penonton, padahal yang diajarkan jauh lebih buruk. Apa bedanya makan tahu berformalin atau borak dengan menyaksikan tontonan demikian ini. Mulus, bagus, dan keren ditampilan, namun isinya sangat beracun dan sangat berbahaya.

Peran masyarakat sudah cukup baik dengan memberikan laporan ke KPI, namun eksekusi belum maksimal dan belum mengena dengan apa yang terjadi di lapangan. Media yang memberikan sajian ala kadar, memajang artis yang dinilai layak jual, soal tampang dan fisik, sedang akting apalagi soal isi dan materi masih jauh. Sering belum ditindaklanjuti. Teguran sangat terlambat, bisa setelah sekian puluh seri baru pindah jam tayang, atau ganti judul sedang isi sama saja busuknya.

KPI perlu jemput bola dengan melakukan pencegahan bukan menunggu laporan yang jelas saja akan sangat terlambat. Alasan klasik akan dikemukakan, soal tenaga. Konsekuensi logis, kesiapan melamar dan seleksi di sana tentu tahu dengan baik apa yang mau dibuat, jangan berdalih tidak mampu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline