Hadiah itu pantasnya hal yang menyenangkan dan mengesan secara positif, bisa berupa prestasi atau hal yang menyenangkan lainnya. Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa hadiah tragis itu sebagai berikut:
- Revisi UUK KPK dan Seleksi Capim KPK
Gonjang-ganjing soal revisi yang banyak pihak katakan sebagai bentuk pelemahan dan pengerdilan KPK belum tuntas. Tarik menarik antara legeslatif dan eksekutif masih terjadi. Soal materi yang hendak direvisi juga masih alot dan lebih mengemuka adanya upaya euthanasia atas KPK. Kewenangan yang hendak mulai dipancung memberikan sinyalemen makin rapuhnya jawara pelawan bandit berdasi ini.
Seleksi capim KPK juga sama juga bohong ketika menghadapi sapu kotor yang namanya dewan. Mempersoalkan hal yang remeh, sedangkan waktu sudah mendesak. Program kerja yang mereka target namun meleset, hal ini juga ranah korupsi, di mana waktu yang dibuang-buang dengan tidak semena-mena tanpa merasa bersalah.
- Kasus Catut Mencatut dan Saham di FPI
Energi hampir seluruh anak negeri terserap dalam persitiwa heroik ini. Saling serang dan desak, melibatkan elit negeri. Presiden dan wakilnya, kabinet, dan ketua dewan dengan para konconya. Menteri Sudirman Said telah dengan resmi melaporkan sang ketua, sedangkan Setnov membantahnya. Kebenaran ada satu, tidak mungkin kedua-duanya. Alangkah eloknya ketika di antara mereka. Selama ini hanya menerka-nerka siapa yang benar dan melihat rekam jejaknya saja. Menarik ditunggu bahwa siapa yang benar dan siapa yang telah melakukan pelanggaran. Jangan sampai seperti selama ini yang hanya menjadi tahi ayam, hangat sekejam kemudian menguap. Hiruk pikuk soal Anggodo dulu, yang menyebut petinggi negeri juga lewat tak berbekas. Pemecatan hakim MK karena penggunaan surat palsu, juga tidak ada kabar beritanya. Jangan lagi seperti itu, jual beli kasus dengan kasus lain atau sejumlah uang.
- Pilkadasung yang Potensial Banyak Serangan Fajar dan Penghasil Koruptor
Ironis benar hari ini, hari Anti Korupsi, namun potensi korupsi justru sangat tinggi. Salah satu sumber yaitu dari Kemendaagri yang dilansir oleh JPPN pada tanggal 15/2/2014, telah ada 318 kepala daerah yang terjerat korupsi oleh KPK. Angka ini hanya mewakili betapa besarnya angka korupsi oleh kepala daerah yang dipilih langsung ini. Demokrasi yang hendak dibangun ternyata belum diikuti dengan kualitas mental pejabatnya. Belum lagi soal serangan fajar ang marak namun lagi-lagi tidak ada bukti bak kentut yang baunya menyengat namun menangkap pelakunya susah.
KPK masih harapan terbesar untuk menjadi penindak dan pencegah korupsi di garis depan. Keberaniannya menangkap tangan hingga sekelas ketua MK, menetapkan menteri aktif sebagai tersangka, ketua umum partai berkuasa (meskipun belum jelas benar), hingga yang remeh temeh sekelas dua ratus juta rupiah hingga pengacara kondang merupakan deretan prestasi gilang gemilang.
Upaya-upaya yang kelihatannya bagus namun bermotifkan sebaliknya makin kencang tergiang, akankah terus terjadi. Politisasi di penegak hukum lain, gamangnya polisi menindak polisi, membuat KPK ada lebih depan dan dipercaya. Tidak heran ketika banyak upaya dan usaha digunakan untuk melemahkan KPK. Cara legal dengan merevisi UU tentang KPK hingga main kayu seperti menarik penyelidik oleh institusi induk, menangkap petugas bahkan pimpinan KPK, menghalang-halangi pengeledahan dan pemeriksaan, pengepungan hingga santet dan kemenyan.
Tetap Semangat KPK!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H