Penganiayaan yang menimpa calon perwira Akmil sungguh tragis dan ironis yang terjadi di kesatrian STPDN. Kekerasan demi kekerasan sering nyaring terdengar dari sana. Hingga melayangnya nyawa bukan hal baru dari sana. Berbagai usulan untuk pembubaran nyaring terdengar dan berbagai pihak mennyuarakannya. Hasilnya lebih banyak yang tidak baik dari pada yang baik. Birokrasi juga belum ada titik perubahan dan malah makin hari makin suram, apalagi diperkeruh dengan siapa saja bisa menjadi kepala daerah. Mentok sekda dan selama ini juga kurang memberikan pencerahan dan perbaikan yang signifikan dari sana.
Dua calon perwira dikeroyok oleh lima calon pejabat negara persoalan yang menjadi dalih adalah berphoto di tangga keramat mereka. ?? Tanya yang sangat tidak masuk akal, bagaimana mereka hanya persoalan “sepele” bisa melayangkan pukulan dengan keroyokan oleh lima orang untuk dua orang. Sepele dalam arti, seorang calon pejabat negara yang sakral adalah simbol-simbol negara, bendera, Garuda Pancasila, dan yang sejenisnya mendapatkan pelecehan, marah bisa dipahami.
Lha ini “hanya” soal tempat. Dan mereka ini tamu, apakah tahu bahwa itu sakral atau tidak. Apakah ada yang lebih sakral dari tempat ibadah di tempat pendidikan lembaga negara ini? Saya tidak paham sama sekali. Akan berbeda misalnya masuk tempat ibadah dengan tanpa melepas sepatu di Masjid atau di Gereja itu tempat yang memang dihormati, sikap itu perlu dijaga bukan untuk memukul tentunya. Apakah ada hal yang demikian di sana itu?
Kedua, hal ini tangga, kalau tangga berarti bahwa tempat berlalu lalang atau berjalan ketika menuju dan meninggalkan sebuah tempat. Atau tangga ini khusus yang hanya boleh dilalui atau sama sekali tidak dilalui? Kalau demikian apa hebatnya tangga ini? Kog sesakral dengan kereta kencana di keraton saja.
Ketiga, mereka ini adalah akademis, ilmiah, kalau memiliki sikap seperti ini bagaimana ke depannya. Sikap mudah tersulut emosi yang sangat sektarian, tanpa bisa mengerti dan memberi toleransi dengan bahasa yang lebih santun. Bahasa kekerasan tentu bukan bahasa orang berpendidikan.
Keempat, jiwa korsa atau apapun itu penting namun nasionalisme di atas segalanya. Kerjasama lebih baik dari pada kelompok-kelompok kecil. Pantas saja pembangunan susah berjalan karena sejak pendidikan saja telah demikian.
Kelima, sepanjang saya hidup di asrama, itu ada aturan sangat ketat (memang berbeda secara mendasar asrama saya dan STPDN), namun tentu aturan itu ada, ada perbincangan lebih dari tengah malam, bagaimana mereka bisa mempertanggungjawabkan kegiatan esok harinya. Hal ini sungguh ironis ketika tidak ada disiplin yang sangat remeh seperti ini.
Implikasi ke depan ketika mereka telah berkarya dan mengabdi pada negara, bagaimana ini bisa menjadi sinergi dan berlomba-lomba dengan prestasi bagi bangsa dan negara. Korps, anggkatan, daerah itu sudah usai sejak 1908 dan 1928 lalu, malah kini sekitar seabad malah kembali ke titik terendah,dan mengenaskannya adalah dengan saudara sebangsa dan setanah air. Lebih ironis lagi sesama anak-anak muda yang dibeayai oleh negara melalui uang pajak yang tidak kecil.
Bagaimana hari-hari ini dirjen pajak yang mundur karena target pajak yang tidak tercapai, eh uang yang terkumpul untuk membeayai generasi muda yang seperti ini. Sepakat bahwa tikus merusak padi di lumbung bukan dengan membakar lumbung itu, namun perlu pembenahan secara menyeluruh dan mendasar.
Satu hal, setiap ada kekerasan dan kekisruhan ada dua pendapat dan itu sama sekali tidak pernah diselesaikan selain dibiarkan terlupa. Apa yang terjadi ada dua versi. Kali ini pun tidak ada, malah yang berwenang mengatakan tanya pada pihak lain. Korban memang telah mengatakan karena berphoto di tangga, dan pelaku mengakui. Memecat pelaku saja bukan penyelesaian, masih banyak hal yang tidak tersentuh. Keberanian mengatakan apa yang terjadi dan pembenahan menyeluruh agar lebih baik ke depannya.
Perselisihan antarinstansi dan lembaga juga demikian. Misalnya tentara dengan polisi, sama saja, ada dua versi menurut polisi dan tentara, kemudian mengatakan dihukum atasan langsung, dan kembali suatu saat terjadi lagi. Harus ada titik temu di antara kedua versi kejadian dan itu adalah kebenaran. Korps belum tentu benar dan selama ini selalu saja korpsku yang benar. Hal ini perlu ditinggalkan dan tidak bisa diterus-teruskan. Negara lagi yang harus membangun kalau ada perusakan dan pembakaran.