Empat puluh empat tahun KORPRI telah terbentuk, Hari ini, merupakan hari upacara peringatan Korpri dengan peringatan terakhir sekaligus monumental karena tahun depan merubah nama menjadi KASN. Apakah perubahan nama akan juga membawa perubahan sikap dan jiwa sebagai aparatur dan abdi negara?
Beberapa hari lalu, terjadi pemukulan oleh calon aparatur sipil negara terhadap calon militer, yang kedua-duanya adalah calon aparat negara yang dikemudian hari harus berkolaborasi bagi pembangunan negara bukan bertikai dengan hal yang remeh temeh. Persaingan dalam memberikan diri bagi bangsa dan negara bukan bersaing menjadi yang terbaik bagi diri dan kelompok dala hal yang buruk.
Cinta korp harus namun bukan mengalahkan cinta rakyat dan negara. Gesekan antaraparat bukan barang baru. Bagaimana perselisihan itu tidak berkurang, justru makin banyak dari hari ke hari, belum lagi antarkesatuan militer dengan militer, belum lagi militer dan polisi, ujung-ujungnya adalah perselisihan uang dalam arti berebut bekingan dan ironisnya menjadi “pelindung” bisnis hitam. Penyelesaian selama ini tidak tuntas dan jujur maka menjadi bom waktu yang meledak sewaktu-waktu, belum pernah ada yang jujur mengatakan apa yang terjadi, paling banter masing-masing atasan atau komandan mengatakan versi anak buahnya dan selesai dengan salam komando dan pelukan, dan di bawah sama sekali belum ada penyelesaian.
Abdi negara atau pegawai negara. Memang tidak bisa dinafikan bahwa menjadi pegawai negeri merupakan jaminan hidup, namun tidak cukup menjadi pegawai negara semata, dibarengi menjadi abdi negara. Abdi berarti memberikan jiwa dan raganya bagi negara. Bekerja maksimal dan penuh dedikasi. Apakah itu sudah terjadi? Beberapa sudah namun masih yang jauh dari harapan. Di sekolah-sekolah guru bersertifikasi menginjak guru baru demi jam mengajar bukan barang sulit diketemukan. Pegawai yang asyik main hape atau belanja bagi yang ibu-ibu, bapak-bapak yang merokok dan main ping-pong atau catur sedang rakyat mengantri bukan barang langka di negeri ini. Belum lagi masuk dan pulang kerja dengan seenaknya sendiri. Wajar dan layak untuk bekerja mencari uang, namun apakah sudah sesuai dengan apa yang diterima?
Miskin kreatifitas dan ide. Pak Jonan baru saja mengeluhkan salah satu insinyurnya yang diminta merancang dan membuat toilet kereta agar tidak langsung dibuang ke rel, menyatakan per unitnya Rp. 500.000.000,00 per unit. Orang lain, yang bukan berpendidikan teknik, justru dari fakultas hukum malah menemukan alat seperti yang dimaui PT. KAI hanya seharga Rp. 12.000,000,00 per unitnya. Selisih sekian jauhnya. Ini hanya salah satu contoh minimnya kreatifitas dan inovasi dari korps ini. Bagaimana negara dikelola dengan minim ide demikian? Belum lagi soal pendidikan nasional yang sangat-sangat kacau, nilai yang hanya formalitas dan UN yang bisa diatur demi hadiah bagi sang kepala daerah.
Kreatifitas dalam hal yang buruk dan kolaborasi jahat. Bagaimana jual beli SK, promosi berdasar kedekatan dan relasi persaudaraan dengan atasan. Diperburuk dengan raja-raja kecil di daerah yang menjadikan timses sebagai kepala-kepala yang jauh dari kemampuan. Nepotisme yang menjadi dasar Pak Harto diturunkan ’98 justru sekarang makin parah karena hampir semua melakukan. Belum lagi main mata dipembuatan APBD/N dan tahu sendiri siapa pelakunya. Gaji sudah layak, namun karena mental rakus dan tamak, masih juga main mata anggaran dan memikirkan bagaimana dapat uang dengan jabatannya.
Aparat yang hobi kekerasan. Kekerasan fisik ataupun psikis. Bagaimana sikap arogan dan sombong masih kuat di pejabat negeri ini. Kalau boleh membandingkan dengan perusahaan swasta, masih kalah jauh. Bagaimana sikap yang baik kepada rakyat, senyum saja masih susah apalagi meminta maaf kalau salah.
Mentalitas juragan dan meminta pelayanan dan penghormatan dari pada mengabdi dengan melayani. Jiwa korsa yang ditekankan di lembaga pendidikan justru main senior yunior denganketat, belum lagi sektarian kedaerahan. Atasi itu semua atas nama Indonesia.
Akar persoalan adalah pendidikan. Lembaga penghasil contoh STPN selalu mengedepankan senioritas. Selalu terbawa dalam kerja nantinya. Kedaerahan. Sikap kedaerahan yang masih berciri negatif bukan justru memperkaya. Benar salah daerahku dan angkatanku. Nampak jelas pembelaan dalam kasus korupsi dan perselisihan. Sipil tidak begitu kuat, namun terasa juga.
Pendidikan sipil yang sok militer, membangun sikap disiplin sejatinya bukan kekerasan. Kurang mendalam dan memahami esensi pendidikan kedisiplinan, malah menjadi kekerasan fisik sebagai jalan keluar sedang disiplin malah rendah. Ironis apa yang menjadi tujuan tidak tercapai, malah salah didik jadinya.
Aroma tidak sedap soal suap saat masuk bukan hal yang baru, namun sulit pula dibuktikan. KKN sejak dini sudah terjadi. Suap berarti uang dan cari balik modal sejak awal juga. Potensi dan kemampuan rendah namun kaya bisa masuk dan menjadi calon aparatur negara, dan hasilnya seperti ini. Demikian juga rekruitmen CPNS yang selalu terulang setiap saat. Uang dan uang menjadi panglima dan susah untuk membongkar itu semua.