Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

[Catut the Series] Kemiskinan Haruskah Dijawab dengan Maruk Harta di Kemudian Hari?

Diperbarui: 18 November 2015   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mohon maaf sebelumnya bukan sok kaya, namun melihat bahwa kemiskinan dan keterbatasan sungguh menjadi bagian bangsa ini yang telah akut. Keterbatasan materi memang akan menimbulkan luka batin bagi pribadi yang tidak melihat sebagai rencana Tuhan. Tidak sendirian dan banyak rekannya yang menderita. Kesulitan yang telah terlampaui bukan untuk dibalas dengan dendam kesumat yang tidak berkesudahan.

Contoh akibat luka batin atas kesulitan di masa lalu: pertama kejadian pada Pak Gatot PN dan Pak Setya Novanto. Kisah Pak Gatot sebagaimana dikisahkan Mas Bambang secara garis besar adalah, dia lahir dari keluarga tentara yang kesulitan untuk memenuhi keinginannya menjadi tentara juga. Pertama di Akabri tentu paham saat itu betapa mahalnya dan di secaba karena ada “penyakit” di kakinya akibat kerja keras di lapangan. Dua “kegagalan” yang sangat menyesakkan. Kita tentu tahu sekarang ini bagaimana dia menghadapi status tersangka yang berganda-ganda dan semuanya berorientasi dengan uang dan korupsi.

Kedua Pak Setya, sebagaimana Tempo,com melaporkan bagaimana ia kuliah di Surabaya dan sambil berjualan di pasar. Tentu bukan hal yang ringan. Dilanjutkan menjadi sopir  pribadi keluarga Pak Hayono Isman.  Dia menjadi pengusaha sebagai masa depannya. Sebenarnya wajar saat melatih naluri bisnis sejak dini ketika menjadi pengusaha yang sukses. Namun dalam perjalanan politik dia sering dikaitkan dengan suap dan korupsi yang tidak sedikit.

Luka Batin

Luka fisik saja perih dan pedih tanpa penyembuhan. Demikian juga luka batin, tidak kalah pedihnya kalau tidak pernah disembuhkan dengan proses panjang. Ciri luka batin ialah, kalau melihat dan menyaksikan kejadian yang sama akan marah, sakit, berempati, atau mengutuk secara berlebihan. Namanya luka tetap saja akan mengganggu, meskipun pilihannya positif tanpa adanya kesembuhan akan merugikan.

Sikap atas luka, bisa dendam, misalnya dulu kekurangan, ketika mendapatkan kesempatan akan aji mumpung dan menimbun secara berlebihan bagi diri sendiri. Keluarganya dan orang yang disayanginya tidak boleh menderita sebagaimana ia alami. Menutup rapat-rapat pengalamannya dan bisa marah ketika disinggung. Luka yang tidak dikelola juga akan membuat reaksi berlebihan ketika luka tersebt tersentuh, kita bayangkan saja ketika kita bisulan dan dijentik, tentu akan kesakitan.

Bisa pula bersikap bahwa jangan ada orang lain yang menderita seperti dirinya. Sikap ini akan memiliki empati yang besar dan peduli akan derita orang lain. Membantu dengan sikap yang wajar dan tidak berlebihan, membangkitkan semangat agar orang lain terlepas dari belenggu lukanya.

Tentu tidak semua melakukan dendam atas luka salah satunya kemiskinan dengan maruk atau luka karena di-bully, ganti mem-bully,  ada tipe orang yang memiliki sikap yag berbeda tentunya. Kesembuhan juga menghasilkan keputusan yang berbeda tentunya.

Sikap Masyarakat dan Bangsa

Sikap memuja materi, kehormatan itu berkaitan dengan kepribadian dalam arti kepemilikan pribadi, bukan kepribadian dalam arti karakter baik. Hal ini tentu makin membuat malu ketika miskin dan kekurangan. Tidak sendirian sebenarnya, mengapa harus malu dan menjadi maruk ketika berkuasa.

Istilah memperhalus, seperti miskin dengan prasejahtera juga mendidik masyarakat untuk tidak berusaha dan merasa tidak berdaya. Memperhalus sebagai sarana meninabobokan dan bisa direkama anak sebagai sarana balas dendam di kemudian hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline