Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Lingkaran-Lingkaran Setan di Sekitar Kita

Diperbarui: 9 Agustus 2015   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lambang olimpiade atau pesta olahraga biasanya menggunakan simbol lingkaran bertautan yang hendak menggambarkan kesatuan yang tidak pernah putus. Pernikahan menggunakan cincin lingkaran yang tidak berujung karena satu kesatuan. Menjadi masalah kalau itu adalah lingkaran setan, seolah masalah demi masalah tanpa adanya ujung pangkalnya dan selalu di situ saja.

Lingkaran pertama. Beberapa hari lalu, ada anak sekolah menengah pertama menabrak orang tua, di pinggir jalan. Ironi adalah, itu jalan desa. Wakikota Bandung menyatakan prihatin melihat anak-anak bermotor. Bisa dipahami karena sekolah terutama negeri dan dipinggiran biasanya ada di  tanah yang relatif murah. Tempat tersebut biasanya jauh dari akses jalan raya utama dan tidak ada angkutan umum, atau kalau ada harus dua dan tiga kali. Orang tua lebih murah dan praktis memberi motor untuk anaknya. Bagaimana anak itu belum bisa mengukur antara kecepatan, pengereman, bagaimana menyalib dan menyeberang secara aman dan banyak persoalan yang melingkupinya. Alasan praktis mengalahkan keamanan anak dan orang lain belum lagi soal BBM.

Lingkaran kedua. Pendidikan mahal dan kacau. Orang bekerja mengandalkan koneksi dan uang untuk menyuap dan sebagainya (memang sudah banyak berubah). Semua hal ditentukan oleh pendidikan, ketika pendidikan lemah dan buruk, jangan banyak berharap dunia kerja, pemerintahan, birokrasi bisa bersih dan bergerak dengan baik. Suap dan korup sebagai sarana mengembalikan modal pendidikan.

Lingkaran ketiga. Beaya politik mahal, pejabat main uang dalam segala hal. Balik modal tujuan pertama, pengabdian menjadi belakangan, apalagi kesejahteraan rakyat, tidak sampai ada di benak. Bagaimana  korupsi dan penyelewengan wewenang bisa dihentikan kalau untuk mencapai kekuasaan itu bukan kualitas dan kemampuan selain uang untuk membeli. Banyak bidang lain juga memiliki model yang sama.

Lingkaran keempat. BBM mahal, angkutan umum sepi, motor menggila jumlahnya, acet di mana-mana. Pengelolaan angkutan massal masih sebatas ide dan wacana. Tidak heran jalan kurang, BBM langka, harga mahal dan macet, namun banyak pula kantor pemerintah, fasilitas umum, seperti rumah sakit, pasar ada di tempat yang jauh dari akses itu, mau tidak mau motor menjadi pilihan.

Lingkaran kelima, penegakan hukum yang tidak serius. Penegak hukum sering berlindung di balik hukum untuk berbuat kejahatan. Hukum, politik, kekuasaan niretis. Moralitas dan membedakan baik dan buruk saja bisa dibalik-balik sesuai konteks kepentingan sendiri. Benar dan salah tidak ada bedanya dengan baju yang bisa diatur sesuai dengan pemesan. Prosedur lebih menjadi pedoman daripada kebenarannya. Ritual lebih berarti daripada maknanya.

Lingkaran keenam, penghargaan akan kepemilikan, bukan kualitas pribadi. Tidak heran orang akan pamer dan berorientasi akan prestasi dan materi tanpa peduli cara yang dipakai. Menggunakan segala cara agar mendapatkan penghormatan, meskipun caranya tidak terhormat.

Lingkaran ketujuh, budaya malu yang terkalahkan oleh budaya berani. Malu melanggar itu belum ada memilukan berbuat kejahatan bisa berkata-kata dengan ayat-ayat suci dan menyatakan sebagai pencobaan dari Tuhan. Bersikap “bangga” dengan tertawa-tawa tidak ada sesal sama sekali di wajahnya.

Lingkaran kedelapan, praduga tak bersalah. Selalu saja berkedok hal ini untuk menghilangkan barang bukti, menggiring opini, dan nantinya lupa dengan esensi persoalannya. Budaya lupa dan ingatan pendek yang perlu dikikis agar berubah dan tidak mudah menutupi persoalan dengan persoalan baru.

Lingkaran kesembilan, HAM. Pelanggaran HAM padahal oleh pelaku pelanggar HAM sebagaimana dikenakan dalam kasus korupsi yang diwacanakan tidak mendapat remisi, atau pengedar dan pedagang narkoba yang dihukum mati. Tidak bisa HAM menafikan HAM. Ironis pelanggar HAM dibela dengan HAM yang telah ia langgar.

Lingkaran kesepuluh, standar ganda. Di mana-mana berlaku kalau menguntungkan akan dibela, sedikit saja rugi, bahkan tidak mendapatkan apa-apa jangan ditanya akan dihujat habis-habisan. Lihat saja di sekeliling kita. Kebenaran saja bisa ditilik dengan berbagai ragam tafsir sesuka sendiri. Emmang kebenaran hanya ada di dunia ide, namun paling tidak yang universal itu ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline