Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe dan Budaya Kerja

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dewa Ruci merupakan kisah pewayangan yang mengandung pesan moral sangat tinggi. Dua hal yang cukup menonjol dan sangat tepat dengan konteks saat ini. Ajaran kontekstual berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sepi ing Pamrih, sepi dalam keinginan memperoleh balasan

Memilih untuk sepi dalam mengharapkan balasan mungkin akan dinyatakan gila di dunia yang penuh dengan materialisme dan konsumerisme. Penghargaan akan materi, tentu tidak mudah menyatakan sepi ing pamrih. Jargon yang berkebalikan dengan istilah tidak ada makan siang yang gratis. Salah satu iklan rokok yang ramai menjadi bahan untuk meledek yang paling tenar, wani pira? Gambaran betapa banyaknya pamrih dan uang atau balasan dalam berbagai aktivitas kita. Ada lagi, kalau lapor polisi kehilangan kambing, akan kehilangan pula sapi. Ucapan terima kasih akan didiamkan, karena bukan itu yang diminta saat mengurus surat-surat, baik di lembaga pemerintahan, kepolisian, ataupun yang lain.

Mengapa demikian?

Pendidikan mahal, mahal dalam arti yang sesungguhnya, ataupun mahal karena suap dan pungutan-pungutan liar yang tidak jelas. Sekolah Taman Kanak-Kanak hingga universitas tidak ada yang murah, wajar ketika bekerja sulit mencari pelayanan, yang ada adalah mencari uang demi balik modal dan persiapan untuk anak keturunannya.

Penghargaan terhadap materi dan kepemilikan daripada kepribadian. Pola pikir demikian, membuat orang lebih suka mencari penuhnya pundi-pundi materi, meskipun dengan jalan yang tidak semestinya. Materi menjadi tujuan utama, sepanjang menghasilkan uang akan dipakai untuk memperolehnya.

Rame ing Gawe, banyak melakukan pekerjaan dan tanggung jawab.

Pekerjaan dan tanggung jawab yang sebenarnya, bukan mengenai wacana, kepentingan sendiri dan kelompok yang cepat diselesaikan, sedang yang menyangkut hajat hidup orang banyak nanti-nanti baru dijalankan. Mendahulukan hak dibandingkan kewajiban. Kedisiplinan kerja berkaitan dengan rasa takut, takut kehilangan insentif, takut atasan, jadi orientasi adalah hadiah dan atasan, sedang pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta sama sekali dilupakan.

Mengapa terjadi?

Budaya kerja berorientasi pada takut atasan dan upah. Mentalitas buruh masih kuat, sehingga ketika banyak upah, rajin dan ada atasan atau pengawas akan tekun. Semua level terjangkiti model ini.

Pekerjaan sebatas menjalankan prosedur, soal hasil dan caranya sama sekali tidak diperhatikan. Hasil buruk atau sama sekali tidak memuaskan tidak masalah, karena prosedur sudah berjalan. Merugikan orang atau negara tidak dianggap salah, asal sudah memenuhi daftar hadir, sedangkan kehadiran berguna atau tidak kurang dipedulikan.

Daftar hadir lebih bernilai daripada hasil kerja. Banyak daftar hadir namun isi kantor kosong, atau masuk ke kantor keluar lagi, main ping-pong, catur, atau main alat komunikasi, ngerumpi, dan malah banyak pula yang tidur dianggap wajar saja.

Keadaan rame ing pamrih dan sepi ing gawe masih lebih kuat, Serat Dewa ruci masih sebatas inspirasi, dan belum diaplikasikan.

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline