Spanduk dan banner ada di mana-mana yang menyatakan penolakan gerakan ISIS. Kelurahan-kelurahan, kantor-kantor polisi, dan banyak tempat dihiasi dengan plastik hitam atau kuning demikian.
Pemda-pemda booming dan mengeluarkan perda khusus mengenai penggunaan akik. Akik saja hingga ada perda, implikasinya adalah kalau tidak taat dalam arti tidak mengenakan akik akan mendapatkan sangsi, sedang sangsinya apa itu bukan pembicaraan artikel ini.
Dua gambaran itu memberikan kepada ingatan kepada kita mudahnya gegap gempita pada suatu hal namun sangat tidak mendasar bagi kehidupan bersama. Bagaimana dulu louhan, gelombang cinta, cupang, dan banyak hal yang menggelora hanya sekejab dan kemudian hilang. Asalnya dari mana sama tidak jelas fungsinya dan hilangnya ke mana juga.
Spanduk peringatan akan ISIS baik adanya, namun apakah itu memasuki esensi pokok persoalan? Saya kira jauh dari esensi. Masih banyak orang belum tahu apa itu ISIS dan membaca itu malah bertanya-tanya, ada apa to dengan spanduk itu. Sosialisasi proyek, pembuatan banner menjadi lebih berperan daripada bekerja keras menjelaskan apa itu ISIS, mengapa harus ditolak atau diterima, apa konsekuensinya mengikuti ISIS, apa keuntungan dan kerugiannya, kalau demikian apa keputusanku sebagai WNI. Sama sekali tidak ada, selain spanduk mati, nanti sekian hari terempas angin juga tidak akan diperbaiki dan dibenarkan lagi. Persoalan demi persoalan seolah ditangani, sebenarnya tidak. Seperti orang hanya meniup luka, malah menambah penyakit sebenarnya, namun dianggap mengobati.
Perda akik. Lucu banget. Banyak persoalan mengenai kinerja pegawai yang jauh lebih memprihatinkan daripada sebatas mengenakan akik. Alasan dasarnya bangga produk lokal, memang begitu? Sama sekali tidak, membeli satu dua, dan kemudian jatuh pada kemunafikan kalau tidak lebih fatal memberhalakan batu?!? Bangga produk lokal bisa banyak cara kog, tidak perlu senaif dengan perda soal mengenakan akik. Jauh lebih mendesak dengan adanya peningkatan kinerja. Sekian tahun lima hari kerja di pemda, pelayanan Sabtu tidak bisa, idenya setelah pukul dua pada hari lain bisa, lihat saja berapa kantor yang masih aktif setelah pukul 13. Masuk kerja dan pulang kerja pola lama, enam hari, namun lima hari kerja, masuk dan pulang masih sama. Pelayanan yang lebih ramah, profesional, serta kemampuan bekerja lebih mendesak dibandingkan akik. Korupsi waktu, anggaran, ataupun peningkatan kemampuan jauh lebih urgen dibandingkan akik. Minimal sudah ada dua pemda, yaitu Sumsel dan Purbalingga yang mengatur hal ini. Bukan salah, namun tidak ada kemendesakan bagi kesejahteraan dan pembangunan.
Sedikit berbeda, namun mirip artinya. Menjual kesenian bagi kekhasan dengan adanya festival ini, itu. Benar tidak daerah tersebut memiliki apa yang disajikan? Contoh konkret Magelang kota, hampir tidak memiliki sawah dan ladang yang bisa menjadi sajian festival budaya, namun dalam arak-arakan budaya mereka membuat gunungan sayur mayur.
Latah namun tidak mengerti esensi sama juga gajah di hadapan tujuh orang buta. Apa yang dimaui tidak diketahui, yang penting menjalankan, dan akhirnya tidak sampai tujuan. Orang buta saling menuntun dengan paradigma masing-masing, karena minimnya sosialisasi dan kemauan belajar yang memang rendah.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H