SBY mengakui kalau ada kelompok lain yang menilainya bungkon, dan dia tampik julukan itu. Persoalan KIH dan KMP yang kacau balau dipakai Sby untuk mencari sensasi yang membahagiakannya. Beliau memang bukan bunglon sebagaimana pengakuannya.
Lihat sejarah pilihan sikap SBY yang kata pengamat politik sebagai cerdik, apakah demikian?
Ada blok timur dan blok barat saat perang dingin, Indonesia ada pada posisi non blok, yaitu tidak memihak barat dalam hal ini USA dan kawan-kawan, namun juga tidak memilih Uni Soviet kala itu sebagai sekutu. Jelas Indonesia memilih non blok namun juga tidak memihak apapun berkaitan dengan perseteruan antara Nato dan almarhum Pakta Warsawa waktu itu. Sikap non blok jelas, bukan saat ini ikut Nato saat lain ikut gerbong Uni Soviet. Apa yang dilakukan Demokrat dan SBY sama sekali tidak demikian. Bagaimana ketika pemilihan ketua DPR dan MPR menempel KMP sehingga menempatkan saudaranya Agus Hermanto menjadi wakil ketua, dan sahabat karibnya EE Mangindaan sebagai salah satu wakil dalam MPR. Jelas-jelas memihak bukan penyeimbang, malah menyingkirkan PPP yang justru sejak pertama mendukung Gerindra dan Prabowo dengan sama sekali tidak menempatkan jabatan strategis di DPR ataupun MPR. Kalau bukan kekuasaan dan kursi alangkah bijaksananya kalau satu-satu PD dan PPP menempatkan wakil ketua DPR atau MPR bukan keduanya untuk PD. SBY langsung datang ke kubu yang tidak didukungnya, bahkan ditinggalkan saat keadaan terdesak oleh pemikiran yang berbeda dari kelompok yang sudah memberinya jabatan bagi partainya. Jelas kembali dia mencari pijakan yang ditolak sebagai plin-plan.
Perpu produknya yang hendak ditolak rekan-rekan yang telah rela berbagi kursi, juga menunjukkan bagaimana sikapnya tersebut. Perjalanan panjang, aneh, lucu, dan naif sebenarnya. Siapa inisiator pilkada ini? Pemerintah. Siapa pemerintah, jelas-jelas SBY dan Demokrat. Mendagri telah menggulirkan rancangan itu, ketika ditangkap dengan baik oleh kelompok yang memang sedang terluka, bersikap seolah-olah bukan SBY yang mengajukan pemikiran yang ternyata, tanpa diduga ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Anehnya presiden tidak tahu arus pemikiran masyarakat. Jelas-jelas kalau memang memihak pemilu langsung tidak akan lahir perpu yang sekarang menjadi kacau lagi, saat voting tidak lari. Mengapa lari saat voting kalau harus mengeluarkan perpu yang menghasilkan tambahnya persoalan bukan menyelesaikan masalah? Karena malu ternyata ditolak masyarakat? Harus bekerjasama dengan kelompok yang jelas-jelas menolak pildasung, bisa dilihat sikap Priyo, Zon, saat kemenangan itu dirayakan dengan gegap gempita, dan sekarang semua gegap gempita pula menolak???!?!? Kepentingan kursi bukan rakyat. Demi kursi merapat ke KMP dan kursi sudah di tangan mencoba lagi sisi yang lain untuk kepentingan yang berbeda.
Penyeimbang, non blok, dan tidak masuk KMP atau KIH, karena melihat keuntungannya dulu, mana yang menguntungkan, aku dukung. KMP yang bisa membagi-bagi kursi, ya aku dukung. Kali ini KMP menampar aku karena menolak hasilku, aku lari dan merapat KIH. Ini bukan penyeimbang, namun pemberat bagi kelompok yang menguntungkan dan menggembosi yang tidak memberikan apa-apa.
Penyeimbangnya juga tidak jelas saat banyak kasus-kasus yang sama sekali tidak menguntungkan dirinya, diam saja, bagaimana ketika menguntungkan langsung bereaksi sesuai dengan kepentingannya. Kadang menghantam pemerintah kadang mengkritik rekannya di KMP.
Memang bukan bungklon kog pak Beye.....
Salam damai....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H