Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Aswatama Mati, Hoax A la Mahabarata, dan Gaya Politik PKS

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perang Baratayudha, merupakan peperangan yang mempertaruhkan segalanya. Tidak heran kalau masing-masing pihak mengerahkan segala daya upaya untuk memetik kemenangan. Senopati dan panglima tertinggi dipilih prajurit pinilih untuk memberikan kepercayaan diri dan jaminan memperoleh hasil terbaik.

Hari demi hari, silih berganti pertempuran demi pertempuran terjadi, dan kemenangan dan kekalahan merupakan hasil yang berganti. Kebencian, kemarahan, dan angkara murka telah menguasai kedua belah pihak. Kematian dan kesedihan dan sorak-sorak atas keberhasilan datang dan pergi. Aliran darah dan daging terkoyak menjadi pemandangan lumarah.

Saudara sedarah yang telah gelap mata karena perebutan tahta, kekuasaan yang memabukkan, menghasilkan tipu daya dan muslihat yang menjadi-jadi. Kematian demi kematian, padang Kurusetra telah berubah menjadi merah, amis, dan bau anyirnya darah dan bangkai. Ribuan prajutir mati, panah, tombak, gada, pedang, merupakan mesin pembunuh bagi kedua belah pihak.

Prajurit terbaik bahkan senopati selaku panglima berganti, namun kemenangan belum berpihak kepada salah satu pihak. Kemenangan dan kekalahan ganti berganti. Hari ini Pendawa menang, esok Kurawa ganti menang. Hari ini Kurawa kalah telak, lusa Pandawa kehilangan besar-besaran.

Gajah, kuda, dan kereta tidak terbilang banyaknya yang rusak dan hancur. Kerugian tidak lagi bisa dihitung. Namun tanda-tanda perang berakhir belum kelihatan. Bhisma telah mangkat, dan Durna menggantikannya. Pandawa tahu dengan pasti, tidak ada yang akan mampu menandingi kesaktian dan kedigdayaan Durna. Siasat pun lahir, rancangan licik tercipta. Semua Pandawa tidak ada yang rela dengan sendirinya untuk menjalankan siasat ini. Yudistira sebagai sulung dengan sangat berat hati mengambil peran dan menanggung dosa atas kelicikan perang mereka.

Gada terangkat dan Aswatama mati, hancur berantakan tersambar kepalanya. Pembentukan opini publik dimulai, Bima menebarkan racun yang benar hanya sebagian. Aswatama memang mati tersambar gada, namun Aswatama nama seekor gajah, yang kebetulan sama persis dengan nama putera Durna. Begitu ucapan Bima menggelegar dan terdengar, mental perang para prajurit surut, demikian pula Durna. Durna bertanya kepada Yudistira sebagai seorang yang paling jujur, apakah benar berita tersebut? Dan Yudistira menyebutkan benar, Aswatama, gajah dengan disebut sangat pelan, telah mati. Terucaplah kebohongan itu dan roda kereta Yudistira patah.

Durna yang telah hendak mengucapkan mantra bramastha, yang akan memusnahkan Pandawa langsung hilang dan semangatnya hancur lebur. Durna yang sakti dapat dikalahkan dengan hoax yang dihembuskan.

Hoax dan kekuasaan

Marabharata ternyata telah mengenal hoax. Kebenaran yang sebagian benar dan atau bahkan sama sekali tidak ada kebenaran sama sekali. Hoax dan opini publik menjadi satu kesatuan penting untuk mendapatkan kemenangan dan kekuasaan.

Zaman teknologi informasi seperti saat ini, pembentukan opini publik memegang peran sangat penting. Etika dan moral memegang peran sangat fundamental karena apa yang disampaikan dan disiarkan oleh “pemilik media dan modal” mampu mengubah keadaan. Moral dan etika yang rendah akan menghasilkan opini publik sesuai kepentingan yang hendak dibela, bahkan bisa membuat yang salah menjadi benar atau seolah-olah benar, atau yang benar menjadi salah dan bahkan musuh bersama. Sebaliknya, ketika etika dan moral menjadi panglima, maka kebenaran adalah kebenaran dengan apa adanya. Bukan kebenaran karena kekuasaan dan kebenaran karena kepentingan.

Kedewasaan dan kebijaksanaan masyarakat merupakan kunci pembentukan opini yang sehat. Masyarakat rasional dan sehat tentu akan dengan mudah tahu mana yang sampah dan mana yang benar. Bukan mengamini dengan bak babi buta akan perkataan pemimpin atau menafikan apapun yang dikatakan pihak yang tidak menguntungkan.

Saat ini, ternyata metode Aswatama mati telah menggurita dan menjadi senjata bagi sebagian pihak. Kebenaran sebagian atau bahkan sama sekali tidak ada kebenarannya sekalipun dapat menjadi andalan untuk menyudutkan lawan atau kalau mengkin menjatuhkan rivalnya. Pemikiran yang kritis, logis, dan analitis sangat dibutuhkan untuk menghadapi pola kelicikan dengan bermodalkan sebagian kebenaran ini. Media sosial menjadi media paling gampang, murah, dan efektif bagi penyebaran opini seperti ini. Kekuatan kata-kata dan kemampuan mengolah gambar dengan perangkat lunak dan keras yang makin murah dan mudah makin membantu gelora opini publik sebagaimana Bima teriakkan.

Kebenaran bukan seolah-olah benar, apalagi sebagian benar. Kebenaran adalah kebenaran, bukan karena kekuasaan atau materi.

Salam Damai....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline