Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

Bibit Memulai, Ahok Mengikuti, Jokowi Layak Meneladani

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bibit yang berarti benih memang telah memulai budaya baru, bahwa kader yang sudah menjadi pemimpin, baik daerah tingkat satu, dua, apalagi presiden, dan pejabat publik lainnya layak melepaskan atribut partai dan menjadi abdi dan milik seluruhnya. Gubernur Jawa Tengah periode lalu memang membuat geram PDI-P dan Mega khususnya karena ketidakmauannya terlibat dalam partai secara langsung seperti kampanye. Mega pernah di bandara sambil memegang emblem gubernur di dada sambil mengatakan,” Gelem tak jaluk neh, mau tak ambi lagi?”...lho?!?!?!?!?

Ahok mengikuti di belakangnya dengan keluar dari partai Gerindra yang mengusungnya menjadi DKI 2 bersama Jokowi. Setali tiga uang, manufer, hujatan, cacian, dan ungkapan-ungkapan orang kehilangan aset menyerbu Ahok. Tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih, kutu loncat, dan bahkan ada wacana merevisi UU mengenai dukungan parpol kepada pejabat bisa dicabut, dan menggugurkan sang pejabat tersebut.

Saat ini Jokowi yang oleh banyak terutama elit PDI-P sebagai kader/petugas partai yang seolah-olah lupa akan induk semangnya. Parpol seolah-olah telah lupa akan keberadaannya.

Jangan lupa bahwa pemilihan baik kada ataupun pusat yaitu presiden ialah rakyat, jangan lupa rakyat, hanya saja ada campur tangan parpol di sana, alangkah bijak kalau presiden ada calon independen sebagaimana gubernur dan bupati/walikota, dengan demikian akan semarak, karena banyak kada yang diusung oleh pihak independen sukses, hanya saja akan ada main api di dewannya, kalau lemah dalam beberapa hal tertutama dalam hal managemen pemerintahannya. Parpol bukan segala-galanya dalam hal ini, meskipun memiliki andil, namn bukan pihak yang menentukan lanjut dana tidaknya sebuah pemerintahan. Ingat rakyat yang memilih.

Parpol harusnya bangga kalau memiliki kader bisa menjadi pemimpin untuk seluruh rakyat. Ada kesuksesan bahwa kadernya mumpuni sehingga dipercaya untuk menjadi milik bersama bukan hanya kelompoknya. Tidak perlu digondeli untuk tetap menjadi miliknya, kan sayang orang lain sudah percaya malah diganggu dengan pemikiran sempit demi kebanggaan dan kepentingannya sendiri.

Benar bahwa pejabat adalah kader atau petugas partai, namun harusnya hanya sebatas ideologi, bukan pada urusan yang remeh temeh lainnya. Ingat bahwa kepada daerah atau kepala negara milik seluruh orang termasuk partai tentunya. Tjahyo Kumolo mengatakan seluruh presiden di dunia mesti milik parpol, (dia lupa atau tidak tahu tidak juga, Vatikan tidak ada partai). Bolehlah pemikiran demikian, namun bukan berarti bahwa seolah-olah partai yang mendikte presiden, dan presiden sebagai pelaku saja, kalau demikian apa bedanya presiden dan ketua fraksi di DPR?

Mengapa ini terjadi?

Tidak ada ideologi yang diusung secara eksplisit dan berbeda satu sama lain. Tidak heran partai mati-matian menahan kader potensialnya agar tidak lari dan dibajak kompetitornya. Perjuangan ideologis sama sekali belum tampak dan bisa menjual partai selain menjual kader potensial.

Kader yang hendak mencoba berdiri di atas semua golongan akan dikekang dan dikendalikan karena khawatir menggoyahkan roda organisasi yang karatan dan gagal dalam regenerasi dengan baik. Kader menjadi sumber daya dan sumber dana potensial.

Apa yang bisa dilakukan?

Penyederhanaan parpol, mendesak dilakukan dan jauh-jauh hari dilaksanakan agar tidak menjadi bahan kampanye pihak-pihak tertentu. Secara faktual parpol yang ada juga tidak menjaul perbedaan yang signifikan, kalau tidak boleh mengatakan tidak ada bedanya, semua sami mawon.

Pindah parpol tidak boleh menjadi caleg, capres, cagub, cabup, dan ca..ca.. lainnya selama satu periode, jadi 2014 kader A tidak boleh 2019 kader partai B, dengan demikian tidak akan ada kutu loncat parpol dengan seenaknya.

Penghargaan kepada kader loyalis lebih baik. Kader bukan semata-mata pekerja sukarela, namun juga ada jenjang penghargaan dan saksi, bukan karena kader dan dekat ketua meskipun baru dan banyak borok tetap saja dibela, sedang kader yang sudah berdarah-darah karena berani menyuarakan kebenaran dan kritik membangun dibuang, hanya karena berbeda dengan penguasa partai.

Partai milik rakyat, bukan sekelompok orang. Parpol di sini masih berkutat dengan orang bukan ideologi. Benar bahwa paropl pertama kali didirikan oleh seseorang, namun bukan milik orang tersebut tentunya. Sekiranya keturunannya memang mampu bolehlah sebagai penghargaan si pendiri, namun kalau ada yang lebih mampu mengapa tidak?

Salam Damai




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline