Kembali menghangat relasi yang penuh ketegangan antara Gubernur Ahok dengan dewan khususnya Taufik. Perseteruan lama yang seolah telah baik-baik saja setelah pelantikan yang tanpa gejolak, kini bergolak lagi.
Analogi orang mencari menantu atau mempelai, Pak Ahok ini model slebor, tidak dapat restu, jurus andalan laki-laki ngawur adalah hamili dulu, pasti restu didapat. Eksekusi dulu semua pasti bisa diatur. Jurus andalan banyak pemuda yang terhalang kemauan mertua ini sering efektif, hanya satu dua keluarga yang mempertahankan egonya atas nama harga diri dengan menjual kemaluannya. Pak Ahok seolah kena model yang demikian sekarang.
Masalah anggaran memang pelik, bertahun, bahkan berpuluh tahun model siluman itu bisa muncul dan seolah menjadi lumrah, maka ketika ada perubahan dan tidak bisa lagi siluman itu muncul seenaknya, karena ada ayat-ayat suci melingkupinya, penggerak siluman ini mencak-mencak, merasa dibatasi dan dikebiri.
Dewan terepresentasi melalui M. Taufik sejatinya adalah bentuk patah hati yang belum bisa bergerak maju, atau istilah abg, dengan move on. Persoalan pilpres hingga pengangkatan gubernur yang belum selesai hingga hari ini di dalam hati yang terdalam. Anehnya camer yang pengin jadi mempelai juga ini, pernah menjadi mbak comblang yang gagal, ketika menjadi KPU. Malah tersangkut kasus kriminal.
Repotnya, adalah barisan sakit hati ini bukan mengawasi dan mengawal pemerintah dengan adil dan obyektif, apa yang dilakukan hanyalah mencari kesalahan menantunya, apapun yang dilakukan. Melakukan A dikatakan salah harusnya B, dan kalau B dikatakan keliru yang benar itu C dan seterusnya. Kapan selesainya?
Drama menantu bukan idaman dan mertua laki-laki nyinyir ini akan lama, apalagi menantunya berani mengatakan siapa yang jatuh, dia atau aku yang dijatuhkan. Makin ramai ketika menantu tidak dikehendaki ini ternyata berani dan memiliki nyali. Biasanya menantu kalau tidak berhadapan dengan mertua yang cemberut saja sudah takut, ini sudah dibentak pun melawan dan bahkan menantang.
Kegeraman Gerindra melalui Taufik ini bertumpuk-tumpuk, dulu dia dijadikan menantu idaman karena memang bisa banyak membantu keluarga yang sedang butuh “dana” besar dalam menghadapi gawe untuk menghadapi pileg dan pilpres. Orang yang bersinar dari daerah ini bisa memberikan “dana/suara” yang cukup besar, maka mereka menduetkannya dengan Pak Jokowi saat pilgub DKI, dan sukses, bahkan bisa mengajak incumbent berduel hingga adu pinalti, dan akhirnya menang dengan gemilang. Gerindra makin pede dan sukacinta memiliki menantu moncer dengan kinerjanya yang cepat, lugas, dan banyak melakukan gebrakan. Pileg-pun masa bulan madu mertua menantu ini masih oke. Menjelang pilpres mulailah menantu “terkutuk” itu mulai menjengkelkan mertua. Banyak keinginan mertua yang tidak sesuai dengan apa yang ada dalam benaknya, dan puncaknya dia menyatakan cerai dan putus hubungan secara permanen.
Pilpres sebagai titik balik hubungan manis tersebut dan benar-benar berubah menjadi buruk. Tuntan mundur karena merasa jasa mertuanya lah dia bisa menjadi wakil gubernur, tidak tahu diri, lupa daratan, dan aneka hujatan sebagai bentuk kekecewaan mertua yang kehilangan aset. Keberanian menentang pilkada langsung, diperparah tidak mau memilih wakilnya dari salah satu iparnya. Padahal iparnya tentu dengan sang mertua mengaku telah mengelurkan banyak untuk kemulusannya mencapai jabatannya.
Ipar dan mertua yang selalu menilai salah dan selalu ikut campur dalam rumah tangga yang sudah bubar lagi, tidak bisa mengawal lebih baiknya keluarga. Demikian pula ketika keadaan itu ada dalam roda bernegara. Dewan bukan mengawasi pemerintah, namun mencari-cari saja kesalahan, sedang prestasi besar sama sekali tidak pernah dibicarakan. Pengawas bukan hanya menilai keburukan, namun juga perlu menghargai hasil apapun itu. Kalau pengawas hanya melihat kesalahan, itu namanya penguji.
Salam Damai...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H