Key words:
Moral: Kebaikan
Moralitas: Hal-hal terkait moral
Hukum: Seperangkat aturan yang menjamin moral
"Prinsip hakiki moralitas adalah bonum est faciendum, malum est vitandum yang artinya: yang baik harus dikerjakan, yang buruk harus dihindari" (Thomas Aquinas)
***
Hingga hari ini rekonstruksi terkait prinsip dasar moralitas belum menghasilkan artikulasi final yang jelas, mantap serta berlaku umum. Seluruh konsep politik amat terbata dalam membahasakan prinsip moral yang ideal. Pemaknaan serta praksis moral yang keliru masih menjadi klimaks distopia yang sering dijumpai dalam seluruh konsep politik.
Thomas Hobes dalam refleksi filsofisnya membahasakan manusia sebagai "homo homini lupus", manusia satu adalah serigala bagi yang lain. Kritik etis ini cukup relevan jika disandingkan pada moralitas politik dunia dewasa ini.
Moralitas dalam skop politik hari ini diterima dengan pengandaian "negara boleh bersikap buruk sejauh kebaikan dapat dikendalikan secara adil". Legitimasi itu tentu bukan suatu paradoks yang wajib dimaklumi. Ironi! Bahkan konsep moralitas direduksi secara kaku ke dalam hukum politik (hukum positif) sambil membentengi hukum kodrat (hukum ilahi) demi kepentingan politis.
Menyikapi problematika ini diperlukan sebuah hipotesa yang kurang lebih mantap untuk mendiskusikan kembali disposisi hukum politik yang secara dialektis terlanjur dipisahkan dari urgensi hukum kodrat. 'Pisau' bedah yang mungkin tepat digunakan dalam diskusi ini adalah nalar filsafat Aquinas. Mari kita membedah 'tubuh distopia' dengan 'pisau' magis Aquinas.
Aquinas dalam karya filosofisnya menempatkan moralitas ilahi di atas segalanya. Untuk itu dia mengaminkan prinsip partisipasi hukum positif dalam hukum ilahi. Ia menguraikan secara kritis bagaimana Tuhan yang adalah hukum abadi/ilahi (lex aeterna) merembes secara aksioma ke dalam.., dan 'mendudukkan' hukum ilahi dalam diri manusia. Deitifikasi tersebut bermuara pada moralitas ideal yang pada praksisnya tidak boleh memiliki motif yang bersebrangan dengan prinsip-prinsip hukum di luar diri manusia. Dengan kata lain konsepsi hukum positif tidak boleh diterima dalam pengandaian mengatasi atau keluar dari hukum ilahi.
Berpijak pada hipotesa di atas maka sintesa paling adil untuk merumuskan korelasi antara hukum politik (hukum positif) dengan hukum kodrat (hukum ilahi) adalah sebagai berikut.
Hukum positif (hukum politik) adalah formalisasi dari hukum kodrat (lex aeterna) yang harus diterima sebagai seperangkat aturan baku yang membatasi warga negara agar bebas mengekspresikan keadilan. Hukum positif dibentuk melalui konsensus etis; menolak segala kompromi yang tidak selaras dengan asas-asas keadilan demi kebaikan suatu negara.
Hukum positif wajib diterima sebagai alat kendali sosial, melembaga; tidak permisif terhadap ketidakadilan atau tindak kejahatan yang merugikan individu, kelompok, bangsa atau negara. Ia harus berdiri di atas segalanya demi memberikan keadilan serta melindungi hak, kewajiban dan kebaikan bersama.