Lihat ke Halaman Asli

Radikalisme dan Peran Intelektual Hari Ini

Diperbarui: 24 Februari 2016   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="iconics.cehd.umn.edu"][/caption]Meluasnya gerakan radikal jelas merupakan hal yang sangat memprihatinkan sekaligus meresahkan pada hari ini. Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam satu dekade terakhir pasca reformasi, gerakan radikal ternyata telah menguasai kampus-kampus besar dan telah berkembang di kalangan intelektual sebagaimana diberitakan Kompas (19/2). Penelitian itu menunjukkan beberapa temuan yang cukup mencengangkan seperti Pancasila yang mulai dianggap tidak relevan atau pembenaran terhadap kekerasan yang dilakukan atas nama agama.

Bagaimana mungkin gerakan radikal dan teroris itu mampu membelokkan kesadaran kebangsaan yang telah dirintis oleh para tokoh nasional seperti Kartini, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Cokroaminoto, Haji Agus Salim, atau Sam Ratulangi sebagaimana ditulis oleh Ignas Kleden dalam opininya tentang Inteligensia Indonesia (19/2)? Bukankah kesadaran kebangsaan yang telah dirintis oleh free-floating intellectuals itu merupakan buah pergumulan dan pertaruhan di antara beberapa kemungkinan yang sempit pada masa kolonial? Jika paham radikalisme mulai menarik perhatian intelektual Indonesia, apakah hal itu menandakan bahwa saat ini mereka sedang mengalami krisis identitas?

PERUBAHAN PEMAKNAAN
Seiring dengan perjalanan sejarah bangsa ini, menurut Kleden, keterlibatan inteligensia Indonesia mengalami metamorfosis. Mereka hadir sebagai penggagas nasionalisme pada awal abad ke-20, negarawan pada awal kemerdekaan, pejuang partai politik pada zaman Demokrasi Terpimpin, administrator pada masa Orde Baru, dan konsultan dunia industri dan bisnis pada masa Reformasi. Disadari atau tidak, proses metamorfosis yang terjadi dari waktu ke waktu itu mengubah pemaknaan terhadap intelektual. Mereka tidak sekadar dimaknai sebagai segelintir manusia berbakat yang dianugerahi kebijaksanaan sehingga mampu berbicara tentang kebenaran kepada penguasa tanpa tedeng aling-aling. Mereka juga tidak sekadar dimaknai sebagai segelintir orang yang terus-menerus diilhami oleh keprihatinan terhadap nasib sesama manusia. Akan tetapi, mereka dapat pula dimaknai sebagai sekelompok orang dalam masyarakat demokratis yang berusaha untuk menawarkan jasa dan memperluas pasar kepada para klien, konsumen, atau pemilih partai potensial.

Di satu sisi perubahan pemaknaan itu mengesankan bahwa seolah-olah intelektual begitu mudah mengkompromikan prinsip-prinsip serta mengabaikan panggilan profetik mereka sebagai pembawa kebenaran. Padahal kaum ini secara historis selalu dicitrakan sebagai individu-individu dengan kepribadian yang sangat kuat, yang tidak takut dikucilkan atau disiksa demi kebenaran yang diyakininya. Kehidupan mereka kerap berada di antara kesendirian dan pengasingan. Tidak jarang mereka harus menghadapi konflik batin antara apa yang mereka hayati dengan apa yang dihayati masyarakat.

Di sisi lain, perubahan pemaknaan itu juga menyiratkan bahwa intelektual memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Penyesuaian diri ini digerakkan oleh sejumlah faktor yang berkembang dalam masyarakat modern seperti edukasi, pasar, dan media. Sebagai konsekuensinya, dalam masyarakat modern masa kini, sulit rasanya bagi kita untuk menemukan sosok intelektual seperti free-floating intellectuals yang hidup bertarak sebagai seorang resi atau aulia. Sebaliknya, pada masa kini sangat mudah dijumpai intelektual yang berprofesi sebagai konsultan politik, ahli periklanan, atau penasihat pemerintah, yang memiliki status sosial-ekonomi yang sangat layak.

KEBEBASAN DAN KEWASPADAAN
Kendati pemaknaan terhadap intelektual beragam, satu hal penting yang tidak dapat diingkari adalah bahwa mereka memiliki peran yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Mereka harus berani mengambil jarak dengan mempertahankan kebebasannya agar dapat mengartikulasikan keresahannya kepada publik, kendati prinsip kebebasan yang mereka miliki tidak sejalan dengan prinsip kompetensi yang disyaratkan dunia profesional.

Untuk menanggapi gerakan radikal, intelektual pun harus menggunakan kebebasannya. Mereka harus keluar dari wilayah abu-abu yang kerap diciptakan masyarakat modern dan menempatkan diri sebagai warga negara yang memiliki kesadaran kebangsaan. Kesadaran ini mutlak diperlukan agar pembicaraan tentang gerakan radikal tidak dimulai berdasarkan penilaian like or dislike. Maka dengan cara ini pula gerakan radikal harus dipahami pertama-tama sebagai persoalan politis, bukan persoalan agama. Sebagai persoalan politis, gerakan tersebut perlu dibicarakan dari pelbagai perspektif dalam terang poskolonialitas sehingga persoalan ini tidak menjurus pada stigmatisasi agama tertentu. Alih-alih menempatkan pembicaraan tentang gerakan radikal secara obyektif, intelektual dapat juga menyajikan sejumlah antisipasi alternatif yang dapat dijalankan masyarakat untuk menyikapi pengaruh gerakan radikal tersebut secara damai. Agar gagasan tersebut mudah dipahami, tentu saja mereka harus menyampaikan segalanya dalam lingua franca atau bahasa pembicaraan sehari-hari .

Hal tersebut memang tidak semudah membalikkan telapak tangan terutama bagi intelektual yang terlanjur terbenam dalam dunia profesional. Namun, sekecil apapun, keterlibatan intelektual tetap diperlukan dalam pembentukan diskursus publik yang jujur dan sehat. Keterlibatan ini senada dengan pernyataan Edward Said bahwa tugas utama intelektual adalah mempertahankan negara dengan kewaspadaan. Mereka tidak akan pernah membiarkan kebenaran yang diyakininya diselewengkan dengan semena-mena.

 

Sumber gambar : iconics.cehd.umn.edu (diakses tanggal 21 Februari 2016)[caption caption="Para Intelektual Abad Pertengahan "][/caption]

 

*******

 

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline