Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Sains VS Agama

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seiring perubahan jaman dan kemajuan teknologi, berubah pula cara hidup kita. Demikian pula cara berpikir, emosi dan berekspresi, sangat berbeda dengan era dahulu. Dalam keagamaan pun kebebasan berpendapat terasa sangat keras dalam era internet ini. Banyaknya situs dan blog yang menulis, membahas, bahkan mencaci kehidupan beragama / ajaran agama tertentu mengindikasikan hal ini. Satu hal yang menarik adalah banyaknya tulisan yang membenturkan ilmu pengetahuan / sains dengan kitab suci (dari beberapa agama), misalnya teori Darwin tentang evolusi. Bahkan beberapa tulisan dengan keras menginginkan pelajaran teori evolusi ini dihapuskan dari kurikulum sekolah, karena dianggap tidak sesuai dengan kitab suci.

Konflik antara sains/ilmu pengetahuan (berdasarkan pembuktian eksperimental) dan ilmu-ilmu yang datang dari agama (berdasarkan otoritas dari atas yang tidak boleh dibantah) sudah ratusan tahun yang lalu dialami bangsa Barat. Kita mestinya tidak perlu berangkat dari titik nol.  Pengalaman Eropa dan Barat seharusnya dapat bermanfaat bagi kita. Namun yang tidak dapat ditawar ialah keharusan mutlak untuk bersikap rendah hati.

Manusia dewasa sadar bahwa kebenaran dan kebaikan itu tidak hanya terdapat dalam rumah kita sendiri. Manusia dewasa pun sadar bahwa tidak mungkin segala perkara itu dapat dicampur aduk dalam satu kuali, dan ada wilayah-wilayah tertentu yang otonom (artinya bebas tidak tergantung pada kemauan kita yang subyektif atau kekuasaan apapun) yang harus kita perhitungkan dan hormati.

Selain itu kita harus paham dengan fungsi, kedudukan, dan kemampuan bahasa manusia. Kita tahu bahwa bahasa manusia sangat terbatas. Tidak mungkin mengekspresikan segala-galanya yang dimaksud oleh gagasan manusia yang amat kompleks, apalagi Wahyu Tuhan. Sesudah sekian abad serba simpang siur berdebat sengit, untunglah di dasawarsa terakhir abad ke-20 muncul seorang filsuf yang amat serius menganalisis dan menempatkan kedudukan serta kemampuan bahasa manusia, termasuk bahasa ilmiah maupun bahasa agama, pada tempatnya yang tepat. Filsuf itu Ludwig Wittgenstein (1889-1951).

Filsuf kelahiran Wina ini mengingatkan kita bahwa dalam semua penggunaan bahasa, arti dari kata dan kalimat amat tergantung pada pemakaiannya. Kata yang sama tidak sama artinya bila dipakai dalam situasi dan lingkungan yang lain serta diucapkan oleh orang lain pula. Kata damai dalam dunia diplomasi, dalam khotbah, dalam pencegatan polisi lalu lintas tidaklah sama. Maka kita punya bahasa ilmiah, bahasa agama, bahasa anak, bahasa hukum, bahasa preman, bahasa pedagang, dan bermacam-macam lainnya, yang kesemuanya memiliki kandungan arti yang berlainan pula kendatipun kata yang satu dan sama dipakai.

Sesudah Wittgenstein di pertengahan abad ke-20 mengupas permasalahan bahasa manusia secara mendalam, kita tahu bahwa bahasa sains dan ilmu pengetahuan lainlah dengan bahasa Wedha, Alkitab, Al-Qur'an, dan segala bahasa religius. Berabad-abad kita bersengketa mengenai perkara yang sama sekali tidak relevan, seperti teori evolusi Charles Darwin yang dipertentangkan dengan bahasa Alkitab yang berbicara tentang penciptaan bumi langit dalam tujuh hari. Itu sama sekali tidak perlu dipertentangkan. Sudah lama kita tahu bahwa bahasa puisi lain daripada bahasa sehari-hari, akan tetapi dalam banyak hal yang sebetulnya sederhana antara bahasa religius dan bahasa ilmu pengetahuan bangsa manusia bersengketa selama sekian abad.

Ilmuwan sejati pada dasarnya gembira bila mengalami dinamika pemajuan, bila misalnya teori yang dulu sekian lama dia anut ternyata disusul oleh teori baru yang terbukti lebih benar dan meyakinkan. Biarpun banyak keyakinan lama terpaksa dibongkar, dan sering meminta korban perasaan bahkan gengsi, tetapi toh jiwa ilmiahnya bersyukur. Dunia ilmuwan tidak pernah main mutlak-mutlakan. Kalangan ilmuwan tinggi selalu dihirupi udara persahabatan murni dan iklim tim kerja sama yang sangat menghargai pendapat lawan; Diskusi, dialektik, brainstorming.

Refferensi:

  1. Sungai dari Firdaus, suatu pandangan Darwinan tentang kehidupan, Richard Dawkins, KPG, 2005
  2. Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan, renungan filsafat hidup manusia modern, YB Mangunwijaya, Kanisius1999.

Baca juga:  Seputar "Kasus" Galileo Galilei:

http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/13/seputar-%E2%80%9Ckasus%E2%80%9D-galileo-galilei-73539.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline