Lihat ke Halaman Asli

Menggali Nilai Humanisme

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ekspresi kekerasan dan teror bertajuk agama yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan seakan membuka kembali katup radikalisme dengan latar belakang identitas keagamaan. Fenomena ini terlihat dengan dengan munculnya ISIS dan gerakan atas nama agama.

Klaim kebenaran agama antara satu dan lainnya menjadi landasan untuk melakukan tindak kekerasan atas kelompok lainnya. Disini saya tidak membahas agama Islam saja yang selalu dikaitkan dengan radikalisme dan disangkakan dalam benturan peradaban karya akademik Huntington (the clash of civilitation, 1996). Diakui memang, pasca black september, Radikalisme selalu dikaitkan dengan timur (salah satunya diwakili Islam) dan tentu saja tesis Huntington ini masih perlu diperdebatkan.

Kondisi ini memang harus ditempatkan pada posisi yang berimbang pada setiap agama, bahwa agama atau keyakinan dimanapun bisa menyumbang radikalisme. Entitas agama di tempatkan sebagai ruang mengespresikan tindakan radikal setiap saat bisa terjadi, tidak hanya Islam, setiap agama lainnya pun dapat melakukan tindakan radikal yang berujung pada teror, penistaan dan kekerasan.

Jika kita membuka memori atas serangkaian ekspresi radikal yang mengatasnamakan agama (dimana hal ini telah menjadi memori kolektif) yang muncul kemudian adalah sekelompok pengikut Hindu garis keras membakar Mesjid di Ayodha India, kekerasan pun muncul dalam bentuk teror, kekerasan lainnya-bom Bali dan Jakarta yang disangkakan pada Islam radikal, kemudian berlanjut dengan gerakan kelompok fundamental di Belanda dengan film “fitnah” dan pembakaran Alquran di Amerika Serikat yang oleh pelakunya merupakan panggilan “tuhan”. Sekelumit ekpresi teror dan kekerasan ini menjadi memori atas aksi radikal ber-label-kan agama.

Radikalisme dan Globalisasi

Pesona globalisasi telah diikuti dengan nilai-nilai agama yang memudar. Paling tidak nilai humanis (humanisme) dan melahirkan kemudian dehumanisasi. Globalisasi disatu sisi memang dirayakan, namun disisi lain harus ditangisi, paling tidak pemaknaan atas relasi sosial yang merenggang dan nilai agama yang semakin tergerus. Globalisasi dianggap memberi andil terhadap munculnya gerakan radikal (disini dilihat bahwa radikalisme tidak berdiri sendiri namun saling terkait dengan dunia lain). Meminjam istilah Shindunata- ironi itu dengan munculnya gerakan-gerakan fundementalis atau radikal yang berlabelkan agama. Penguatan basis ideologis (agama) dibutuhkan kembali dalam menghadapi globalisasi (counter culture).

Singkatnya, pergulatan radikalisme agama tidaklah berdiri sendiri, namun dekat dengan pergulatan ideologis, teologis, dan juga sosio-historis. Walaupun dalam pengertian bahwa radikalisme agama tidak ada defenisi yang nyata misalnya term Islam radikal. Seperti ungkapan pemikir Vedi R. Hadiz dalam tulisannya tentang Islam radikal mengungkapkan tidak ada konsensus yang nyata tentang Islam radikal, Hadiz hanya menambahkan istilah itu sebagai artikulasi bagi mereka (penganut faham Islam radikal) yang ingin mendirikan kekhalifahan (masa dimana Islam pernah berjaya).

Menurut Hadiz, sejak Revolusi Iran 1979 yang dibawa oleh tokoh kharismatik Ayatullah Ruhullah Imam Khomeni dan perjuangan Ikhwanul Muslimin (IM) Hasan Al Bannah dianggap pengamat Barat banyak mempengaruhi munculnya gerakan politik radikal Islam. Upaya itu dilakukan dengan maksud ingin menumbangkan rezim yang dianggap sekuler. Gerakan ini memiliki hanya satu tujuan tujuan, untuk membawa Islam dalam romantisme kejayaan masa lalu (masa khilafah).

Menggali nilai humanis

Semua orang sepakat apapun agama itu tak ada yang menghalalkan kekerasan dan teror. Lantas mengapa peristiwa di Cikeusik dan Temanagung bisa terjadi ?. Bisa jadi mengutip pemikir humanistik Edwar Said dalam karyanya, Orientalisme (terj. 2010) bahwa perkembangan manusia tengah dilanda oleh kegagalan dan frustasi. Dewasa ini dalam konteks ber-Indonesia terjadi ketidakpastian dalam kondisi sosial, ketimpangan ekonomi serta pereduksian pemaknaan teks agama telah memicu radikalisme atas nama identitas agama itu.

Disisi lain, negara (baca pemerintah) diangggap gagal melindungi rakyatnya. Lemahnya negara juga diikuti dengan menguatnya gerakan-gerakan radikal. Kondisi ini telah membuka kesadaran bahwa radikalisme keagamaan merupakan refleksi atas usaha pencarian alternatif dan sekaligus respon atas globalisasi seperti yang dikatakan Bauman dikutip Noorhaidi Hasan (prisma.vol.29/10/2010).

Dibutuhkan disini bukan hanya sekedar dialog dan negosiasi di ruang-ruang agama namun penggalian nilai humanis dari nilai-nilai universal bagi masing-masing pemeluk agama untuk menjaga kehidupan harmoni yang telah retak ini. Penting menggali kembali nilai-nilai agama yang humanistik seperti ungkapan dalam etika Islam, rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) atau aforisma Mahatma Gandhi, all man are brothers (semua manusia bersaudara) menjadi afirmasi perlunya mengedapankan nilai-nilai humanis dalam kehidupan beragama. Ketika kita mengeklusifkan diri dan mengalienasi yang lain (allienation to others) semakin kecil peluang kita menciptakan kedamaian dan harmoni pada bingkai agama. Tentunya hal ini menjadi “PR” pada negara yang pluralistik seperti Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline