Lihat ke Halaman Asli

Ketika Mangir Berbicara Keistimewaan Yogyakarta ?

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1295351390374849792

[caption id="attachment_85528" align="aligncenter" width="300" caption="foto Ki Ageng Mangir (Wonoboyo III) Sumber foto : Google "][/caption] ...Ki Ageng Mangir yang dikenal sebagai “pembalelo” terhadap kekuasaan Mataram ialah Ki Ageng Mangir IV atau Ki Ageng Mangir Wonoboyo III (terakhir) antara 1590-1610 M...” Menghubungkan sejarah Ki Ageng Mangir atau masyarakat Mangir menjadi menarik ketika dikaitkan tentang keistimewaan dan kedudukan Sultan Hamengku Buwono X. Mengapa ?, Jika kita melihat sejarah, ada peristiwa antara Mangir dan Mataram yang sampai sekarang menjadi cerita “kontrovesi” yang menurut penulis, bisa saja ada benih-benih kekecewaan perlakuan Keraton (Mataram) terharap masyarakat Mangir yang terkesan jauh dari hiruk pikuk kehidupan Keraton (tersisih). Sebuah buku yang diterbitkan oleh yayasan Projotamansari mengungkapkan antara Mangir – Mataram terjadi perselisihan keduanya yang sampai sekarang masih menimbulkan banyak intrepretasi terutama terbunuhnya Ki Ageng Mangir (walau cerita “pembunuhan” masih kontroversi sampai sekarang) namun masyarakat Mangir, Sendagsari, Pajangan, Bantul masih mengalami trauma atas sejarah mereka karena disebut “Pembangkang”. Tulisan ini hanya refleksi dari penelitian “kecil-kecilan” sebagai tugas kuliah. Namun isu ini mungkin ‘seksi’ karena Kompas (Jumat, 31/12/2010) pernah pula mengulas tentang “Jejak Mangir, Jejak “Pembangkang” seakan memberi pandangan bahwa Ki Ageng Mangir menjadi sosok pembangkangan terhadap kekuasaan Mataram dalam hal ini keraton Yogyakarta. Tanpa menghilangkan polemik antara Mangir-Mataram, yang menarik disini adalah respon atas keistimewaan Yogyakarta yang dianggap sangat “sentisitif” jika berbicara isu-isu penetapan atau pemilihan Sri Sultan Hamengku Buwono XI di dusun Mangir. Bagaimanapun, sejarah Mangir masih mewarnai pemaknaan sejarah atas terhadap Keraton. Sejarah memang tidak lurus. Sejarah tidak harus linear, perubahan relasi sosial antara masyararakat Mangir dengan Keraton telah berubah seiring waktu. Hal Ini terlihat dengan kegiatan-kegiatan kirab atau sekaten, masyarakat Mangir juga merasa antusias dengan ikut berpartisipasi. “Trauma” sejarah Mangir tidak mudah hilang begitu saja, namun ketika diperhadapkan akan keistimewaan Yogyakarta dan Sultan Hamengku Buwono XI, maka masyarakat menjadi satu suara untuk mendukung keistimeaan dengan sistem penetapan. Demokrasi modern dengan asas pemilihan langsung telah menjadi hambar bagi mereka. Keistimewaan Yogyakarta menjadi lebih berarti dari sekedar demokrasi ala pemerintah. Agaknya menarik tesis Benedict Anderson dengan “Komunitas Terbayang” yang memberikan sumbangan terhadap nasionalisme di Indonesia khususnya Yogyakarta. Pengalaman sejarah masa lalu itu kembali digali oleh masyarakat mangir. Masyarakat Mangir yang masih sangat rural, dusun di selatan ini jauh dari hiruk pikuk keramaian akan tetapi nuansa kekeluargaan masih sangat nampak. Dari sejarahnya, orang-orang Mangir jauh dari akses politis juga kultural dari Keraton. Bisa dikatakan terpisah, hanya dengan perkawinanlah antara Ki Ageng Mangir dan Putri keraton Retno Pembayun bisa menyatu namun penuh intrik politik di dalamnya (pada saat Ki Ageng Mangir masih hidup). Selama beberapa generasi, nasionalisme tentang Yogyakarta tidak nampak pudar, sejak Wonoboyo wafat ( Ki Ageng Mangir) sistem masyarakat melebur. Perasaan seruang akan Yogyakarta menjadi satu. Ketika berbicara bangsa, maka Yogyakarta tidak bisa dipisahkan. Nampak jelas bahwa demokrasi dengan jalan pemilihan tidak menjadi penting bagi mereka. Demokrasi prosedural menjadi tak punya daya, yang memiliki kelemahan dan ketidakpastian membuat masyarakat lebih memilih dengan cara mereka dengan jalan penetapan. Ini mengindikasikan bahwa sejarah masa lalu tidaklah linear, sejenak masyarakat melupakan “pembangkangan” dan “pembunuhan” Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senapati. Semua merasa Yogyakarta adalah “istimewa” perasaan seruang (spasial sense) menjadi nampak nyata dalam ruang yang besar : Yogyakarta, bukanlagi melihat ruang spasial yang sempit : Dusun Mangir. Konteks ini yang tidak sepenuhnya dipahami oleh demokrasi prosedural bahwa ada entitas lain yang lahir dari sekedar ayat dan pasal dalam sebuah undang-undang (kompas, 30/12/2010). *** Manunggaling kawulo lan gusti. menyatunya rakyat dan pemimpin Rancangan UU KIY masih dibahas di DPR RI yang masih diwarnai tarik-ulur kepentingan. Isu ini menjadi hangat diperbincangkan bagi masyarakat Mangir khususnya dalam memberi penafsiran. Masyarakat Yogyakarta khususnya Mangir hanya ada Sultan dengan penetapan, bukan dengan jalan pemilihan. Hampir semua masyarakat Mangir, sepakat untuk penetapan sultan (walau dengan catatan) namun ini sebagai konfirmasi bahwa mereka lebih sudi dipimpin oleh seorang Sultan, walaupun seumur hidup. Kompas dalam sebuah jajak pendapat tentang RUU keistimewaan DIY menguatkan hal itu, presentase sebesar 46,5 % memilih Sultan berlaku seumur hidup, yang memilih dibatasi usia/periode tertentu 41,9 % sedangkan melalui pemilihan hanya 2,1 %. Apa yang bisa dipetik dari persoalan Keitimewaan Yogyakarta dan kedudukan Sultan Hamengku Buwono X ? hal ini menandakan bahwa rakyat Yogyakarta masih menginginkan Sultan dengan cara “Penetapan”. Persoalan umur tidak menjadi soal, bahkan rela dipimpin dengan perempuan. Seakan penetapan adalah “harga mati” bagi rakyat Mangir, tidak peduli sejarah kelam yang pernah terjadi. Seakan terlupakan dengan kenyataan Yogyakarta yang dalam versi pemerintah menginginkan jalan pemilihan. Rakyat teguh pendirian dengan penetapan. Sikap rakyat mendukung penetapan karena rakyat ‘trauma’ dengan demokrasi prosedural yang lekat dengan konflik, misalnya konflik pilkada dan sebagainya. Walaupun terjadi kekecewaan masyarakat Mangir dalam sejarah lalu, namun dukungan terhadap RUU Keistimewaan Yogyakarta tidak surut. Dalam tulisan yang lain, Heru Nugroho memiliki tesis lain terkait keitimewaan Yogyakarta terlebih draft RUU Keistimewaan. Dalam tesisnya, keistimewaan perlu ditafsir ulang agar tidak menjadi keistimewaan yang beku. (Heru Nugroho, Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta, 2002 : 64). Sudut pandang kritis memandang bahwa Keistimewaan seyogyanya ditafsir ulang. Tentunya dengan adanya konsep keistimewaan dan kesejahteraan, kembali meminjam istilah Heru Nugroho kemitraan ekonomi-politik kawulo gusti sebagai wujud legitimasi kestimewaan DIY, manunggaling kawulo lan gusti di era globalisasi, tahta untuk rakyat kontemporer. Terpaan angin demokrasi dengan pemilihan langsung menjadi spirit baru berdemokrasi di Indonesia, namun tidak membuat rakyat Yogyakarta berpaling dari Hamengku Buwono X dan Paku Alam VIII. Usaha penyeragaman Pilkada di seluruh Indonesia menemui jalan buntu ketika diperhadapkan dengan kepatuhan rakyat terhadap Sultan. Pemerintah menghendaki pemilihan sedangkan rakyat Yogyakarta menghendaki penetapan (sampai seumur hidup pun rakyat menghendaki). Nilai-nilai tradisi manuggaling kawulo digali kembali di era globalisasi dan menyatu dalam rakyat kontemporer Yogyakarta. Tidak terkecuali rakyat Mangir yang ‘sempat’ menjaga jarak dengan Keraton. Penetapan lebih penting dari sekedar sejarah lama antara Ki Ageng Mangir dan Keraton. Sejarah memang tidak selalu berjalan linear. Wallahualam bissawab.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline