Sumber : http://2.bp.blogspot.com
Lestari alamku, lestari desaku
Dimana tuhanku menitipkan aku...
(Boomerang, Berita Cuaca)
Berbicara tentang desa, maka yang terlintas dibenak (bisa saja) hamparan hijau, padi yang menguning dan kawanan kerbau bersama gembala. Namun terkadang melihat keindahan lansekap desa yang menyejukkan terdapat dilema kecil yang bisa bicara banyak kepada kita. Masuk saja kerelung-relung kehidupan desa, kita akan menemuka cerita tentang orang desa yang tak memiliki cita-cita besar, orang desa dengan kemiskinan, dan orang desa dengan sedikit pendidikan. Penyakit lama yang masih butuh obat penawar.
Jika boleh membuka lembar sejarah tentang negara, maka desa adalah awal sejarah ketikaentitas bernama ‘negara’ belum lahir. Desa sejak dulu menjadi daerah otonom yang mampu menopang hidup masyarakatnya. tak hanya itu, desa menjadi ruang kolektif yang mampu memberi arti bagi komunitasya. Nagari di Sumatra, desa adat panglipuran Bali adalah contoh “negara kecil” itu. Ini bertanda, desa memberi andi bagi terbentuknya negara.
Namun, dengan berkuasanya orde baru, konon demi kepentingan negara, kedaulatan desa menjadi kerdil. Kedaulatan pun diatur oleh negara atas nama stabilitas nasional. Pedesaan pun tak lagi punya ruang gerak bebas. Semua dikendalikan tentara. Jangan salah jika ABRI menjadi alat penekan (waktu itu). Kitapun masih ingat (mungkin sampai sekarang masih ada) istilah “BABINSA” atau “ABRI Masuk Desa”.
Sekedar catatan, masyarakat pedesaan dengan jumlah 65 persen pendudukya hidup dan menggantungkan diri di sektor pertanian. Dan tanah adalah tempat mereka mengolah nasib itu. Namun apa lacur, kesejahteraan menjadi dilema bagi mereka. Walau penyerapan tenaga kerja lebih banyak terserap di desa, namun kesejahteraan yang didapat tidak begitu memiliki arti. Kehidupan sekarang, menyebabkan desa hanya menjadi figuran dalam lakon kehidupan. Pasif, statis dan hanya tunduk pada sistem yang menguasainya. Jika boleh meminjam istilah antopolog Indonesianis Amerika, Clifort Geerzt menyebutnya dengan Involusi.
Sumber : http://softskillrp3.wordpress.com
Rekognisi
Sebuah diskusi dengan nama : Semiloka Nasional, Desembar 2010 waktu itu, (Gerakan Memperjuangkan UU Desa. Menghadirkan pembicara Budiman Sujatmiko (politisi PDIP), Prof, Susetiawan (akademisi UGM), Arie Sujito (Akademisi UGM dan Direktur IRE), Sutoro Eko (tim pakar RUU Desa), dan Sudiro Santoso (ketua umum parade Nusantara) seakan menjadi harapan bagi masyarakat desa. Sudah saatnya desa diberi imajinasi.
Dalam diskusi itu, dilema desa yang dirasakan menjadi persoalan, salah satunya adalah anggaran. Desa hanya mendapat 1,3 persen dari total APBN, 1300 triliun rupiah (sumber data, hasil semiloka). ini berarti tiap desa hanya mendapat kurang lebih 100 juta. Efek menetes kebawah terasa sedikit, dan tak sebanding dari kekayaan yang dikeruk dari desa mulai dari sektor pertanian, hutan, dan pertambangan, belum lagi kantung-kantung suara caleg.
Sisi lain, Desa juga menjadi arena kontestasi dari elit untuk mengumpulkan suara dalam pemilu atau pilkada. Masyarakat desa hanya menjadi variabel pelengkap, setelah itu ditinggalkan dan terlupakan. Memiriskan. (kasus berbeda dari Budiman Sujatmiko yang memperjuangkan masyarakat atas sertifikat tanah di daerah pemilihannya bisa menjadi contoh baik).
Banyak persoalan yang diperdebatkan, namun beberapa poin penting yang bisa menjadi perhatian bagi kita yang peduli terghadap desa, pemerhati desa, birokrat, akademisi, LSM bahkan yang bukan dari orang-orang desa sekalipun agar bersama memberi sumbangsih pemikiran dalam memperjuangkan UU desa yang sekarang masih dalam rancangan di Departemen Dalam Negeri.
Desa punya hak mendapat pengakuan. Saatnya mengembalikan nilai-nilai desa yang sudah lama hilang. Imajinasi desa untuk lepas dari bayang-bayang kelam semoga terjawab nanti setelah RUU Desa menjadi UU Desa yang berpihak pada kepentingan masyarakat desa.
“Berita Cuaca” tak sabar menanti...
...Kami kan bernyanyi hibur lara hati, nyanyikan bait padamu negeri.
Damai sodaraku, suburlah bumiku...
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H