MITOS keberadaan ular berkepala wanita cantik yang menjaga hutan bakau di Pulau Kepala Jeri, menjadi salah satu penyebab keterkucilan warga dari geliat modernisasi yang melanda Kota Batam di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Warga pun tak berani 'kelayapan' ke Singapura yang jarak perjalanan lautnya 'notabene' lebih dekat dibandingkan ke Pulau Batam.
"Dengan mitos 'beginian', pasti 'nggak' ada orang waras yang berani seenaknya keluar-masuk pulau ini, apalagi pada malam hari. Akibatnya, mereka seperti terisolasi dari dunia luar," kata Hj Titin Nurbaeni, mantan anggota DPRD Kepri yang juga Calon Wali Kota Batam di Pilkada 2005.
Menurut wanita ayu berdarah Sunda ini, Kepala Jeri memang dihuni keturunan para buruh perkebunan karet Kolonial Belanda yang semuanya dari Jawa. "Mudah-mudahan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam tidak pernah alpa untuk memperhatikan penbangunan di pulau ini supaya kehidupan warga menjadi lebih baik," lanjut Titin, panggilan akrab pengusaha herbal yang juga spesialis pengobatan supranatural kondang Batam ini.
Pemkot Batam bahkan Pemprov Kepri sebenarnya tak pernah berhenti untuk mengentaskan kehidupan warga Kepala Jeri. Umpamanya, upaya pemasangan listrik PLN di seantero pulau. Hanya saja, sebagaimana dijelaskan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kepri, Hendry Kurniadi (Batam Pos, 12/8), pihaknya untuk di wilayah Kota Batam, baru bisa memasang genset dalam jumlah terbatas di pulau tersebut. Selain Kepala Jeri, genset dipasang pulau di Pulau Lekang, Pulau Sarang, Pulau Linka, Pulau Bertam, Pulau Panjang, dan Pulau Lance.
Kapasitas genset tersebut bervariasi karena disesuaikan dengan jumlah penduduk di setiap pulau. Adapun kapasitasnya, yakni 100 Kva, 85 Kva, 60 Kva, dan 40 Kva. "PLN memang sudah berkomitmen untuk menuntaskan program listrik pedesaan tahun ini. Namun itu belum menyentuh sampai ke dusun. Program ini memang menyasar pulau-pulau kecil berpenghuni, sehingga warga bisa menikmati listrik, meskipun belum 24 jam,” tambah Hendry.
Genset hanya dimiliki oleh beberapa warga. Satu unit genset terpasang pula untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar di sebuah SD yang cuma satu-satunya di situ. Selebihnya, warga menggunakan teknologi penerangan era 'Indonesia belum merdeka', lampu botol, teplok, atau paling banter...lampu petromaks yang juga berbahan bakar minyak tanah namun dicampur spritus. Ponsel pun tak bisa digunakan karena pulau ini tak bisa dijangkau oleh sinyal menara selular terdekat. Jadi, wajar jika ponsel hanya bisa digunakan untuk memutar MP3 lagu atau berfoto 'selfie'.
Lama perjalanan laut Pulau Batam-Kepala Jeri mencapai sejam lebih, tergantung cuaca. Tersedia layanan perahu-perahu bermesin yang dinamakan Boat Pancong dalam Bahasa Melayu. Inilah transportasi laut klasik di Kota Batam. Perahu ini ujungnya runcing yang sebagian besar terbuat dari kayu.
Transportasi ini laut hanya berlaku pada jam-jam tertentu alias ketika air pasang pada pagi, siang, petang, dan malam hari. Selama air pasang, pohon-pohon bakau akan terendam air laut sehingga kerap menyisakan pucuknya. Perahu pun aman menyusup di antara pepohonan tanaman laut ini. Warga Kepala Jeri -yang seluruhnya beragama Islam- rajin berdoa selama pulang-pergi dari pulau itu. Selain agar laut tenang, doa juga dimaksudkan agar mereka tidak diganggu oleh siluman ular itu. Termasuk pula untuk keselamatan anak-anak mereka yang bolak-balik menuntut ilmu di SMP dan SMA di Pulau Kasu atau juga disebut Kelurahan Kasu. Jaraknya sekitar 50 menit dari Kepala Jeri. Jika dirinci, mereka rata-rata harus merogoh isi kocek Rp 400 ribu per bulan untuk membayar sewa perahu supaya anak-anak ini bisa pulang-pergi bersekolah.
Ular siluman itu sendiri diyakini bisa saja mendadak 'mejeng' di depan moncong perahu. Bahkan, tak jarang perahu diterjang dari bawah permukaan air laut oleh sesuatu yang diyakini adalah si ular dari spesis sangat tidak jelas itu.
Cerita mistis lainnya, yakni keberadaan Bukit Gamelan di tengah pulau. Pada malam-malam tertentu, warga sering mendengar suara gamelan dari arah bukit. Menurut sejumlah tetua dusun, ada pendatang yang pernah mendaki ke atas puncak Bukit Gamelan karena penasaran dengan suara musik tersebut. Belakangan, mereka tinggal pulang nama, alias tak pernah kembali ke dusun. Jenazah mereka pun tak pernah ditemukan.