MALAM itu, belasan pria dan wanita berusia sepuh, duduk bersila. Mata mereka telah memutih. Mereka duduk bersila membentuk setengah lingkaran menghadap ke arah puluhan hadirin dari kalangan warga asli setempat, di sebuah rumah adat kayu Suku Kaili. Lokaisnya di Kelurahan Kayumalue Pajeko. Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam bahasa setempat, rumah panggung ini dinamakan Baruga Adat Sibulo Baraka
Beginilah suasana selama berlangsungnya Noragi Ose, tahap pertama ritual Pompaura, upacara adat masyarakat Kaili, suku asli di wilayah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong. Ritual ini digelar tiga hari berturut-turut siang-malam, saban tanggal 28 Desember-30 Januari. Pada hari pertama, para sesepuh wanita, yang diklaim masih dalam kondisi kesurupan (trance) roh-roh leluhur, kerap naik-turun rumah panggung tersebut, untuk mengarahkan kaum wanita yang sedang mewarnai beras empat warna di halaman samping rumah adat itu.
Warga asli setempat serta warga Kaili lainnya yang berdatangan dari kelurahan-kelurahan sekitar serta para sesepuh, semuanya mengenakan Siga, nama ikat kepala tradisional Kaili. Puluhan kawula desa, baik lelaki perempuan, semuanya mengenakan Siga warna merah dengan kemeja hitam dan celana panjang kain selutut berwarna sama.
Pada masa lalu, warna Siga menentukan status sosial seseorang. Siga yang awalnya khusus dikenakan oleh kaum lelaki, dewasa kerap mulai kerap dikenakan pula oleh kaum wanita. Kuning adalah warna tertinggi yang hanya dapat dikenakan oleh para raja atau bangsawan, biru adalah pejabat publik, dan kuning dapat dipakai oleh siapa saja, tanpa membedakan status sosial.
Di atas rumah adat, perilaku para sesepuh ini terkadang jenaka. Beberapa di antara mereka terus merapal mantera, sedangkan yang lainnya asyik bercengkerama, bahkan bercanda. Uniknya, jika dicermati, ada yang tertawa terkekeh-kekeh di sela cengkerama dengan bahasa yang berbeda. Yang satu berbahasa Bugis, satunya lagi berbahasa Kaili.
Melihat 'aksi' bercanda ini, jika Anda pendatang, pasti tak masuk akal. Perasaan jadi 'tidak keruan', antara 'luc'u, heran, dan..pasti merinding. Warga setempat meyakini, tubuh mereka sudah dikuasai oleh roh-roh leluhur sehingga sanggup berbicara dengan bahasa yang berbeda. Karena Suku Kaili dikenal akrab dengan suku atau etnis lain, para sesepuh itu juga tak semuanya asli Kaili.
Melainkan bercampur dengan sesepuh yang berdarah blasteran dari suku-sukulain, terutama dari Bugis yang sudah puluhan tahun berakulturasi dengan warga asli, dan merupakan suku pendatang berjumlah paling dominan di Tanah Kaili.
Saya pertama kali meliput ritual tersebut pada 2017, ketika memproduksi sebuah program televisi untuk Sistem Siaran Jaringan (SSJ) SCTV siaran Sulawesi Tengah. Seorang jurukamera saya, Fadli yang asli berdarah Bugis, mendadak syok ketika didekati oleh seorang sesepuh wanita berkebaya.
Nenek itu memanggil namanya, kemudian berbahasa Bugis. Hanya beberapa kalimat yang saya mengerti artinya. Di antaranya, 'hai, apa kabar, sudah lama kita tidak ketemu', atau 'kamu ngapain aja selama ini?" Kira-kira beginilah terjemahanya ke dalam bahasa Indonesia.
Bingung, syok plus...panik. Beginilah pengakuan Fadli usai ritual. Dilanda perasaan campur-aduk 'seribu galau' , Fadli hanya bisa mematung dengan tubuh gemetaran. Keringat meleleh di keningnya. Tripod kameranya oleng dan roboh, namun sempat ditahan oleh warga sehinngga kameranya aman. "Aaaa," hanya itu suara lirih yang keluar dari mulutnya. Fadli mengakui, pita suaranya seakan terjepit.