Lihat ke Halaman Asli

Pelanggaran Etika Profesi Hakim Terkait Kasus Dugaan Suap

Diperbarui: 7 Desember 2024   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus yang melibatkan ED, seorang hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, telah mengundang perhatian publik dan media di Indonesia. Penetapan dirinya sebagai tersangka dalam dugaan suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas sistem peradilan Indonesia.

Erintuah Damanik, yang lahir pada 24 Juli 1961, sebelum bertugas di PN Surabaya, pernah menjabat sebagai Humas di Pengadilan Negeri Medan. Sepanjang kariernya, Damanik dikenal sebagai hakim berpengalaman yang menangani sejumlah kasus besar. Namun, beberapa putusannya, seperti vonis bebas terhadap mantan Bupati Tapanuli Tengah, Sukran Jamilan Tanjung, dalam kasus penipuan dan penggelapan, menuai kontroversi.

Pada 24 Juli 2024, Damanik bersama dua hakim lainnya memutuskan membebaskan Ronald Tannur, yang merupakan anak dari anggota DPR RI Fraksi PKB Edward Tannur, dalam kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian kekasihnya, Dini Sera Afriyanti. Meskipun jaksa penuntut umum menuntut hukuman 12 tahun penjara, Damanik berpendapat bahwa Ronald tidak bersalah atas tuduhan tersebut.

Keputusan ini memicu gelombang kritik dari masyarakat, karena dianggap mengabaikan fakta-fakta persidangan. Investigasi Kejaksaan Agung kemudian mengungkap aliran dana mencurigakan yang melibatkan Erintuah Damanik. Komisi Yudisial (KY) pun mengumumkan bahwa ketiga hakim tersebut akan dijatuhi sanksi berat akibat pelanggaran etik.

Pada Oktober 2024, Kejaksaan Agung menetapkan Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo sebagai tersangka dalam kasus suap terkait vonis bebas Ronald Tannur. Bukti kuat berupa uang tunai dan barang bukti elektronik ditemukan di beberapa lokasi terkait dengan ketiga hakim tersebut. Penyidik menyita uang tunai sebesar Rp97,5 juta, 32.300 dolar Singapura, 6.000 dolar AS, serta barang bukti lainnya dari rumah dan apartemen mereka.

Selain itu, penyidik juga menemukan uang dan barang bukti elektronik di rumah pengacara Ronald, Lisa Rahmat. Di apartemen Lisa yang terletak di Jakarta, ditemukan uang tunai senilai sekitar Rp2 miliar dalam berbagai pecahan mata uang asing, serta dokumen terkait transaksi dan pemberian uang kepada pihak-pihak tertentu.

Terkait dugaan suap ini, Lisa Rahmat dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 Juncto Pasal 6 Ayat 1 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara itu, hakim Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2 Juncto Pasal 6 Ayat 2 Juncto Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Kasus ini menjadi cerminan tantangan besar yang dihadapi sistem peradilan Indonesia dalam upaya memberantas korupsi dan menjaga kepercayaan publik. Reformasi peradilan yang transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi menjadi kunci untuk menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline