Lihat ke Halaman Asli

Pluralism Justice System dalam Penyelasaian Masalah Kebebasan Beragama

Diperbarui: 6 Desember 2019   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Patricia Beatrix Amarthya Putri

12018003664 // 201805000176

Bahasa Hukum Indonesia

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta 

Fakultas Hukum

PLURALISM JUSTICE SYSTEM DALAM PENYELESAIAN MASALAH KEBEBASAN BERAGAMA

Pendahuluan 

Kebebasan beragama merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, menafsirkan dan memilih agama dan kepercayaan. UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) menjamin setiap warga untuk berekspresi dan menjalankan kegiatan keagamaan dalam bingkai negara hukum. Prinsip negara hukum Indonesia adalah menjamin dan melindungi hak semua umat beragama. Namun seringkali hak beragama yang disalahgunakan hingga memicu disintegrasi sosial. Pluralism justice system menekankan reformasi cara berhukum melalui pendekatan kultur hukum. Hukum di Indonesia tak dapat dipisahkan dengan kultur yang sesungguhnya merupakan nilai penting dalam membantu penegakan hukum. Teori pluralisme hukum diartikan sebagai garis penghubung antara berbagai sistem hukum dalam masyarakat tertentu, termasuk kultur hukum. Inilah yang ditangkap oleh Werner Menski, seorang guru besar hukum dari University of London pada saat meneliti tentang perbandingan hukum negara-negara di Asia dan Afrika. Menski menyimpulkan penegakan hukum di Asia dan Afrika berbeda dengan penegakan hukum di Barat, khususnya di Eropa. Penegakan hukum di Eropa tidak terlalu dipengaruhi unsur-unsur non hukum, seperti moral, etika dan agama. Bangsa-bangsa di eropa sangat nyaman dengan state law. Berbeda dengan bangsabangsa di Asia dan Afrika yang sangat dipengaruhi oleh moral, etika dan agama dalam cara berhukumnya (Suteki, 2015). Menski berpendapat untuk melihat efektivitas cara bekerjanya hukum di Asia dan Afrika menggunakan pendekatan pluralisme hukum yang mengandalkan pertautan antara state (positive law), aspek kemasyarakatan (socio-legal approach) dan moral, etika dan agama (natural law) (Suteki, 2015).

Kerangka Teori

Leopold Pospisil dalam bukunya The Anthropological of Law (1971), mengemukakan bahwa sumber hukum yang paling utama bukan berasal dari negara (positivistik) melainkan dari perilaku masyarakat dan hukum yang mampu mewadahi pluralisme masyarakat. Demikian pula Frederick Karl von Savigny memandang bahwa hukum yang baik bersumber dari adat-istiadat, kebiasaan, dan kemauan masyarakat yang diwujudkan melalui lembaga perwakilan sehingga hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kehendak masyarakat dalam rangka memenuhi kehidupan sosialnya (Saptomo, 2012).

Analisis Data dan Pembahasan 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline