Sebagai elemen yang berguna untuk menyalurkan beban dari struktur ke tanah dasar, pondasi merupakan unsur yang tidak dapat dirancang sembarangan. Dalam dunia konstruksi dikenal dua kategori besar pondasi, yaitu pondasi dangkal dan pondasi dalam.
Pondasi dangkal biasa dipilih untuk proyek-proyek yang tidak memikul beban berat dan tanah keras berjarak dekat (1-1.5 m) dari muka tanah konstruksi, sedangkan selain itu digunakan pondasi dalam atau pondasi tiang. Berdasarkan metode pemasangannya, pondasi tiang terbagi menjadi dua jenis, yaitu pondasi tiang pancang dan pondasi tiang bor.
Pondasi tiang pancang dipasang dengan membenamkan pondasi yang sebelumnya sudah dicetak terlebih dahulu (precast), ke dalam tanah menggunakan sebuah palu khusus. Istilah 'pancang' mengacu kepada proses pembenamannya yang dilakukan dengan memukulkan palu tersebut ke pondasi agar dapat masuk ke dalam tanah dengan tegak dan sesuai kedalaman yang diinginkan.
Konsep penggunaan pondasi tiang pancang diketahui sudah ada sejak zaman dahulu. Di Cina, jembatan pada era dinasti Han (200 SM -- 200 M) dibangun menggunakan pondasi tiang pancang yang terbuat dari kayu.
Di Britania Raya selama abad pertengahan, terdapat banyak kompleks biara di bagian timur Inggris kuno, yang kebanyakan lahannya merupakan rawa-rawa, dibangun menggunakan pondasi tiang pancang kayu dengan memanfaatkan kayu ek dan kayu alder sesuai ketersediaan sumber daya lokal di masa itu.
Karena keterbatasan ukuran material dan belum adanya sistem analisis yang kita kenal saat ini, maka di masa itu pembebanan yang diperbolehkan ditentukan berdasarkan ketahanan terhadap palu yang berat dan ketinggian jatuhnya telah diketahui.
Dari situ pula akhirnya diketahui bahwa ketahanan kayu berbeda-beda tergantung jenisnya. Selain itu, untuk mencegah kelapukan pada kayu maka dilakukan proses charring, yaitu membakar kayu sampai permukaannya berwarna hitam guna menghilangkan kadar air dan komponen organik yang terkandung pada batang kayu.
Proses charring dilakukan di tempat tertutup dengan kadar oksigen minimum sehingga tidak terjadi pembakaran sempurna (combustion), dan dapat berlangsung berhari-hari serta harus terus-menerus dipantau untuk mencegah combustion akibat peningkatan kadar oksigen di lokasi charring. Meskipun proses ini rumit, namun di masanya adalah metode paling ampuh untuk mencegah kelapukan.
Penggunaan kayu sebagai pondasi tiang pancang terus bertahan hingga beton dan baja mulai berkembang dan dianggap lebih praktis daripada kayu. Beton memungkinkan penampang pondasi untuk tidak selalu menjadi monoton karena bentuknya yang menyesuaikan dengan cetakan yang ada.
Di sisi lain, baja memiliki ketahanan lebih dan tidak mudah berkarat karena telah dilengkapi dengan lapisan anti karat dan proteksi katodik (Cathodic Protection) untuk mencegah korosi.
Pondasi tiang pancang dikelompokkan menjadi lima golongan berdasarkan material dan cara pemasangannya. Bentuk pondasi tiang paling klasik adalah pondasi tiang kayu, yang merupakan sumber daya lokal dan bersifat ringan, ekonomis, fleksibel, namun rentan lapuk dan ukurannya terbatas. Pondasi tiang baja dapat berbentuk macam-macam penampang, ringan, kuat, mampu menahan berat, dan mudah disambung dengan las saat dibutuhkan, tetapi berisiko terkena korosi akibat eksposur terhadap air, asam, dan udara.