Baru baru ini pesiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini diterbitkan dengan pertimbangan Perpres tentang Jaminan Kesehatan perlu disempurnakan.
Tujuan diterbitkannya Perpres ini adalah sebagai jalan keluar untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Rencananya, penerimaan BPJS Kesehatan dari pajak rokok diperkirakan mencapai Rp5,51 triliun atau setara 75 persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima daerah.
Namun, upaya pemerintah untuk menopang keuangan BPJS itu dianggap tak sesuai dengan gerakan pengendalian tembakau. Peraturan Menteri Kesehatan 40/2016 menyebut pajak rokok harus digunakan program pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau lain. Hal ini tentu menjadi kontra bagi pajak rokok yang ingin digunakan untuk menambah biaya layanan kesehatan tersebut.
Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi, mengatakan pemerintah seakan akan manyuruh rakyat merokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan dengan mengalokasikan pajak rokok untuk badan tersebut. Padahal, harusnya pemerintah memikirkan suatu cara untuk mengurangi perokok di Indonesia karena Indonesia termasuk negara dengan perokok dan penghasil tembakau terbanyak.
Tulus juga mengatakan keputusan pemerintah mengalokasikan pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk menutup defisit BPJS justru membuat prrokok merasa superior dan merasa menjadi pahlawan. Tidak sedikit juga yang malah mengajak untuk merokok guna membantu pemerintah. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan norma dan kesehatan di masyarakat karena semakin banyak para perokok di masyarakat maka akan semakin banyak yang terkena damlak dari bahaya rokok tersebut sehingga seharusnya para perokok ini merasa malu untuk merokok kembali.
Bukannya sejalan dengan tujuan SDGs, hal ini justru bisa menajdi berlawanan dengan tujuan dari SGDs. Tujuan dari SGDs adalah untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Salah satu tujuan dari sdgs adalah kehidupan sehat dan sejahtera, dengan adanya penetapan peraturan presiden ini bisa jadi menghambat masyarakat dan united nations untuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan Perpres ini bisa mendorong produksi rokok meningkat yang menyebabkan banyak penyakit baik dari perokok aktif maupun perokok pasif. Penetapan Perpres ini juga bisa menghambat kesejahteraan dari masyarakat, biaya BPJS yang seharusnya ditanggung oleh pengguna BPJS yang seharusnya membayar iuran secara rutin setiap bulannya, bukan hanya mengharapkan alokasi dana dari pemerintah saja.
Pengalokasian dana dari pajak rokok dan beacukai untuk BPJS dinilai tidak fair. Pemerintah tidak bisa hanya bergantung kepada perokok melalui pajak rokok.
Lanjutnya, perlu dilakukan formulasi pembiayaan yang sustainable baik melalui iuran wajib maupun alokasi lain dari sumber-sumber yang bersifat earmark dengan tetap memperhatikan fairness dan keadilan. Jika hanya bergantung hanya pada penerimaan rokok (cukai dan pajak), hal tersebut tidak fair mengingat prevalensi penyakit berbahaya juga disebabkan barang konsumsi lain yang menyebabkan penyakit seperti jantung atau diabetes.
Pengalokasian pajak rokok dan beacukai untuk BPJS tidak akan menyelesaikan masalah ini, hal tersebut bisa jadi malah memunculkan masalah baru.
Keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12% pada 2022 menambah permasalahan baru. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau membuat para pembuat rokok memutar otak untuk membuat rokok ilegal, mereka yang memiliki keahlian membuat rokok tentunya mengambil kesempatan yang bagus ini sehingga mereka mampu melihat suatu peluang dan mulai mengedarkan rokok rokok ilegal.