Operasi gabungan TNI/POLRI di Kabupaten Nduga untuk menumpas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang menewaskan 21 pekerja PT Istaka 2 Desember 2018 sudah berlangsung hampir sembilan bulan.
Ternyata, kendala yang dihadapi adalah mencari dan menumpas kelompok tersebut di antara rakyat Nduga yang secara etnik memiliki hubungan kekeluargaan dengan para KKB itu. Operasi tersebut juga berlangsung di tengah kondisi topografi dan geografi yang berat atau meminjam istilah Robert D.Kaplan, menghadapi apa yang disebut "revenge of geography."
Berlarutnya operasi tersebut telah menimbulkan krisis kemanusiaan di Nduga. Penggiat HAM memperkirakan lebih dari 40 sampai 50.000 ribu rakyat Nduga mengungsi atau bersembunyi di hutan-hutan tanpa perlindungan di tengah alam Nduga yang keras dan dingin. Mereka sedang terancam kelaparan, penyakit dan kematian secara pelan-pelan.
Mereka terpaksa mengungsi karena pengalaman traumatis sebelumnya dengan kehadiran aparat keamanan di kampung halaman mereka. Aparat yang kurang dibekali pemahaman budaya, adat istiadat apalagi bahasa akan sulit membangun komunikasi dengan penduduk setempat.
Hal yang mungkin terjadi adalah sikap saling mencurigai. Aparat akan cenderung mencurigai penduduk di kampung-kampung itu sebagai keluarga atau simpatisan KKB dan untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan KKB akan cenderung melakukan intimidasi dan kekerasan fisik terhadap rakyat.
*****
Kenyataan yang terjadi setelah operasi sembilan bulan ini memberi indikasi telah terjadi kekerasan. Penggiat HAM dan gereja telah melaporkan terjadinya kekerasan oleh aparat yang menyebabkan korban jiwa meninggal dikalangan penduduk, termasuk yang meninggal di tempat pengungsian.
Menurut News Portal Jubi 1 Agustus 2019, yang mengutip data yang dihimpun oleh Gereja Kingmi dan dilaporkan penggiat HAM, tercatat jumlah korban meninggal di kalangan rakyat Nduga telah mencapai 182 orang, terdiri dari 21 orang perempuan dewasa, 69 orang laki-laki dewasa, 21 orang anak perempuan, 20 orang anak laki-laki, 20 orang anak balita perempuan, 14 orang anak balita laki-laki, 8 orang bayi laki-laki dan 17 orang bayi perempuan.
Kemungkinan jumlah korban akan terus bertambah namun karena wilayah itu diisolasi dan dibatasi akses oleh pihak aparat bagi pihak-pihak yang perduli kemanusiaan menyebabkan informasi tentang rakyat yang menjadi korban sulit diperoleh.
*****
Para pemimpin kita perlu memahami posisi dan sudut pandang rakyat Nduga yang menjadi korban dalam konflik tersebut. Aspirasi mereka untuk menarik tentara dan polisi perlu dipertimbangkan jalan keluarnya agar rakyat Nduga segera terbebas dari krisis dan kembali menjalani kehidupan normal di kampung masing-masing.
Di sana ada rumah, makanan dan gereja sebagai tempat perlindungan yang aman dan nyaman. Penolakan mereka terhadap kehadiran aparat didasarkan kepada pengalaman sebelumnya, ketika operasi militer Mapnduma tahun 1996 dilansir.