Lihat ke Halaman Asli

Simon Morin

Politisi Indonesia dari Papua

Menerka "Win-win Solution" yang Diinginkan Pemerintah, Freeport, dan Papua

Diperbarui: 3 Agustus 2018   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(wikidpr.org)

Seperti diberitakan media massa, penandatanganan Heads of Agreement (HoA) antara CEO Freeport Mc-Moran Richard C. Adkerson dan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin, yang mewakili Gabungan BUMN pertambangan, telah dilaksanakan pada Kamis 12 Juli 2018.  

Penandatanganan HoA tersebut disaksikan oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Rini Sumarsono serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. 

Kehadiran para menteri ini menandakan bahwa Inalum tidak mewakili dirinya sendiri tetapi merupakan representasi Pemerintah Indonesia dalam proses penguasaan 51% saham Freeport yang selama ini 90% sahamnya dikuasai Freeport Mc-Moran. 

Meskipun HoA bukanlah suatu kontrak yang final, tetapi paling tidak merupakan indikasi awal dari kemajuan suatu perundingan yang cukup alot oleh para pihak yang mewakili kepentingan masing-masing. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Ignasius Jonan mengibaratkan HoA ini sebagai pertunanganan yang akan berlanjut dengan perkawinan.

Diberitakan bahwa dalam HoA ini, telah disepakati struktur organisi, harga divestasi 51% saham sebesar 3,85 miliar dolar AS serta komitmen para pihak untuk melanjutkan perundingan.  Dengan demikian para pihak akan memasuki tahapan perundingan yang lebih mendetil dan lebih alot yang sering  dijuluki "setan ada di detil (the devil is in detail)."  

Mass media nasional baik cetak, elektronik maupun on line telah secara meluas meliput peristiwa ini dan memuat berbagai pendapat dari para pakar, pengamat dan politisi, baik yang mendukung maupun yang belum sepakat.

Bagi yang mendukung kesepakatan tersebut dipandang sebagai suatu kemenangan bangsa Indonesia menuju penguasaaan 51% saham Freeport dan dipersepsikan sebagai keberhasilan Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam meraih kembali kedaulatan bangsa dan negara atas penguasaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat.

Namun demikian ada juga pihak-pihak yang masih mempertanyakan apakah harga atau valuasi yang disepakati dalam HoA sudah wajar ataukah overvalued. Bahkan ada pendapat yang menghendaki agar tidak perlu terburu-buru menguasai 51% saham freeport sekarang. Biarlah sabar menunggu sampai tahun 2021, yaitu saat  Kontrak Karya Freeport berakhir dan Indonesia dengan sendirinya akan menguasai seluruh tambang itu. 

Mereka yang berpendapat demikian lupa bahwa dalam Kontrak Karya II memuat ketentuan yang memungkinkan Freeport memperpanjang kotrak sampai tahun 2041 dan tidak dapat dibatalkan tanpa alasan yang kuat.

Penulis tidak ingin masuk ke dalam perdebatan tersebut tetapi akan lebih fokus kepada pandangan penulis tentang win-win solution apa yang mestinya dicapai untuk kepentingan Pemerintah/negara, kepentingan Freeport serta kepentingan rakyat Papua yang oleh Pemerintah selalu disebut-sebut sebagai pihak yang harus diuntungkan dalam kontrak baru tersebut.

Pertama, win-win solution untuk kepentingan pemerintah/negara. Dari berbagai pernyataan pejabat pemerintah yang berwewenang dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi kepentingan pemerintah/negara menyangkut penguasaan saham 51% demi penegakan amanat Konstitusi dan mengembalikan kedaulatan negara atas pengelolaan sumber daya alam sudah disepakati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline