Lihat ke Halaman Asli

Simon Morin

Politisi Indonesia dari Papua

Penguasaan 51 Persen Saham Freeport dengan Isu Lingkungan, Suatu Siasat yang Berhasil?

Diperbarui: 8 Mei 2018   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

BPK terjun mengurus masalah lingkungan hidup Freeport

Isu lingkungan hidup yang akhir-akhir ini digunakan sebagai alat bargaining Inalum dalam berunding untuk menguasai 51% saham Freeport, pernah diberitakan media massa nasional setahun yang lalu a.l. oleh Koran Tempo, Senin, 8 Mei 2017. Termuat keterangan dari bapak Rizal Djalil, anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) bahwa, kegiatan operasional Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan di area kerjanya di Papua. 

BPK memperkirakan kerugian mencapai Rp 185 triliun. Nilai kerusakan terbesar terjadi di laut yaitu  diperkirakan sebesar Rp 166 triliun. Diberitakan juga bahwa perhitungan kerugian didasarkan kepada ekosistem yang rusak, nelayan yang rugi, dan semuanya dihitung bersama tim dari Institut Pertanian Bogor dengan dukungan citra satelit dari Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional.

Kita memahami bahwa fungsi utama BPK adalah mengawasi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh berbagai institusi pemerintah termasuk Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar tepat sasaran sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Namun ketika lembaga ini memasuki wilayah yang secara teknis menjadi urusan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup maka langkah ini patut dipertanyakan. Ada dua pertanyaan sederhana yang patut direnungkan. Pertama: Sampai sejauh mana BPK boleh memasuki urusan departemen teknis? Kedua: Apakah Kementerian ini sudah tidak berfungsi lagi sehingga membutuhkan intervensi BPK dalam urusan sehari-harinya?

Selama ini yang kita fahami adalah, bahwa kementerian inilah yang sesuai fungsi dan tugas pokoknya lebih berkompeten melakukan penyelidikan dan memberikan pendapat teknis tentang suatu kejadian yang berdampak terhadap lingkungan hidup. Itulah gunanya dibentuk kementerian ini dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman pelaksanaan tugasnya. 

Kita sulit membayangkan betapa beratnya tugas BPK kelak apabila semua urusan teknis berbagai departemen pemerintah ikuti diurusi sampai kepada hal-hal yang bersifat detail. Katakanlah ikut menyelidiki tugas sehari-hari dari para bupati dan gubernur seluruh Indonesia dengan mem-bypass Kementerian Dalam Negeri.  Pasti tidak ada lagi waktu untuk mengurus tugas pokoknya.

Tentang soal Freeport, kita semua maklum bahwa dalam setiap usaha pertambangan, tidak dapat dipungkiri terjadinya tingkat kerusakan tertentu terhadap lingkungan, khususnya permukaan tanah yang dibuka untuk mengambil kandungan mineral, batu bara dan bahan galian golongan C. Demikian juga risiko kerusakan lingkungan yang terjadi akibat proses pengolahan. 

Selama kerusakan-kerusakan tersebut masih dalam batas kendali dan batas toleransi yang disepakati bersama antara pemerintah dengan Freeport, kementerian yang dipimpin oleh Ibu DR. Ir. Siti Nurbaya Bakar M.Sc ini secara teknis lebih memahami duduk perkaranya. Dan bila terjadi hal-hal yang melewati kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan yang diperkenankan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pasti sudah ada peringatan dan tindakan yang diambil terhadap perusahaan tanpa harus didikte oleh pihak manapun. 

Quo vadi pemerintah dengan bola liar politik ini?

Terlepas dari akurat tidaknya metodologi yang digunakan BPK untu cepat tiba pada kesimpulan yang mengejutkan ini, adalah hak dan tanggungjawab Kementerian KLH untuk meminta penjelasan yang obyektif, mendetail dan komprehensif dari BPK tentang cara yang dipakai untuk tiba pada temuan tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline