Lihat ke Halaman Asli

Ketimpangan Gender: Potensi Diri yang Dikubur oleh Struktur Sosial

Diperbarui: 22 Januari 2024   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mendapatkan kesetaraan tanpa mempedulikan gender adalah sebuah hak yang dimiliki oleh setiap individu. Tapi, apa itu gender? Banyak orang yang memiliki miskonsepsi atas pengertian gender itu sendiri. Banyak yang beranggapan gender itu jenis kelamin yang kita miliki, dan sayangnya hal tersebut kurang tepat. Gender adalah sebuah konstruksi sosial bagaimana sifat, perilaku, kewajiban, dan bagaimana seorang wanita atau laki-laki bersikap. Dengan berubahnya zaman, dan gender yang merupakan konstruksi sosial, maka hal tersebut sudah sering melewati perubahan mengikuti waktu. Dahulu, peran wanita dan laki-laki masih sangat dibatasi dan diawasi. Laki-laki harus bekerja, dan wanita harus tetap dirumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mereka yang tidak mengikuti peran tersebut akan dianggap aneh oleh orang lain.

Di abad ke-21, peran gender sudah mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Banyak orang mulai membuka pikirannya, dan tersadarkan bahwa laki-laki dan perempuan bisa menjadi lebih dari peran gender yang sudah ditentukan di konstruksi sosial. Kini, laki-laki dan wanita sudah memiliki lebih banyak opsi bagaimana mereka ingin menjalankan hidup mereka. Wanita juga bisa bekerja di lapangan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, begitu juga sebaliknya bagaimana laki-laki juga bisa bekerja di pekerjaan yang dulu didominasi oleh wanita. Sayangnya masih ada banyak sekali individu yang memilih untuk tetap berpegangan dengan peran gender yang lama. Hal tersebut tidak jarang juga terjadi di Indonesia, sehingga terkadang wanita masih di nomor duakan dan diremehkan di pekerjaan yang didominasi laki-laki. Bukankah zaman sudah berubah? Bagaimana hal ini bisa terjadi? 

Budaya patriarki sudah melekat kuat di Indonesia sejak lama. Lalu apa hubungannya antara budaya patriarki dengan ketimpangan gender yang dialami oleh wanita? Diambil dari beberapa sumber, patriarki itu lebih dari menentukan garis keturunan dari sang ayah/laki-laki, namun juga sebagai sosok utama, pemegang kuasa, dominan, dan secara sosial, budaya dan beberapa aspek lain di atas wanita. Banyak feminis yang menentang paham patriarki yang berlebih ini, sebab terkadang mereka yang terlalu berteguh pada paham patriarki cenderung melihat perempuan sebagai pengurus rumah dan keluarga, yang hamil dan melahirkan. Budaya ini membatasi perempuan dari berbagai potensinya, membuat wanita dinomorduakan dalam berbagai hal. 

Karena hal ini, sayangnya posisi laki-laki lebih dianggap lebih dipercaya, sehingga tidak jarang wanita mengalami subordinasi dalam berbagai bidang. Dimulai dari pendidikan. Subordinasi ternyata banyak dihadapi oleh anak-anak yang masih bersekolah. Diambil dari data nasional, jumlah anak perempuan yang putus sekolah jauh lebih banyak dari anak laki-laki. Hal ini sering terjadi di pedesaan karena masyarakat disana lebih memprioritaskan anak laki-laki yang kelak akan menjadi kepala keluarga dan menafkahi keluarganya sendiri. Bisa dilihat, subordinasi yang terjadi dalam bidang pendidikan sangat amat merugikan para wanita. Selain itu, perempuan masih juga di nomor-duakan di jenjang kuliah. Banyak yang pernah mendengar atau bahkan mengalami sendiri pengalaman orang lain, pastinya yang lebih tua, sekitar 20 tahun, bercerita mengenai ucapan pedas keluarga besar atau tetangga. "Umur segitu kok belum menikah? Ngapain kuliah tinggi-tinggi, nanti gak ada cowok yang mau loh...," seakan keberhasilan wanita diukur dari secepat apa nikahnya, dan bukan keberhasilannya dalam bidang pendidikan. Di sisi lain, jika seorang laki-laki masih belum menikah sampai umur 30 lebih tidak begitu dipermasalahkan. Saya yakin sampai sekarang masih ada banyak wanita yang mengalami peristiwa tersebut. Lagian, apa korelasi antara menempuh pendidikan setinggi mungkin dengan tidak bisa mendapatkan suami? Banyak yang takut kalau pendidikannya terlalu tinggi, nanti banyak laki-laki yang merasa minder. Memilih pasangan dengan buru-buru juga tidak baik. Kita mungkin belum sempat melihat sifat asli pasangan kita dengan waktu yang begitu pendek, dan ketika sudah menikah semuanya sudah terlambat. Dalam masalah ini, peran gender memiliki pengaruh yang besar, bagaimana laki-laki diharapkan untuk bisa melindungi, menafkahi keluarganya, bekerja, sementara wanita bekerja di dapur, mengurusi anak-anak. Tidak ada salahnya jika perannya dibalik. Memang masih jarang menemukan keluarga dengan seorang wanita sebagai tulang punggungnya, sementara sang suami menjadi bapak rumah tangga, tapi itulah yang sedang banyak orang perjuangkan. Untuk mengubah paham gender yang begitu mengekang. 

Dalam dunia pekerjaan, semakin sering lagi kita menjumpai wanita yang disubordinasi, terutama mereka yang bekerja di pekerjaan yang didominasi laki-laki. Ternyata subordinasi wanita yang terjadi dalam lingkup kerja memiliki namanya tersendiri, yaitu "Glass Ceiling". Menurut Babic dan Hansez, "Glass Ceiling" adalah hambatan-hambatan kecil yang ditujukan kepada wanita tapi berjalan secara terus menerus untuk menundha bahkan mencegah wanita naik ke posisi yang lebih tinggi bukan karena kemampuannya yang kurang tapi hanya karena mereka itu perempuan. Hal ini membawa berbagai dampak terhadap wanita, dan bukan hanya menjaga mereka untuk tidak mendapatkan tanggung jawab yang lebih besar dalam pekerjaan, tapi juga menyebabkan mereka menjadi lelah, baik secara fisik maupun mental (. Seseorang bisa melakukan banyak hal dalam berusaha mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, seperti mengerjakan lebih banyak hal dalam kurun waktu yang pendek, rela lembur, dan mengerjakan pekerjaannya dengan teliti, dan hal-hal tersebut tidaklah mudah. Bagaimana rasa para wanita ketika sudah bekerja dengan sangat keras, tapi terus tertahan di bawah hanya karena mereka perempuan. Selain itu, glass ceiling juga menimbulkan turunnya kepercayaan diri wanita, membuat lingkungan kerja kurang kondusif, bersahabat, dan nyaman, dan lain lain.

Lalu bagaimana kita bisa menghadapi subordinasi terhadap perempuan dalam berbagai bidang? Dari berbagai sumber, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi hal ini dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang terlepas gendernya. Banyak membaca buku dan berita bisa membuat kita semua lebih paham dan sadar dengan masalah sosial di sekitar kita, termasuk masalah ini. Dengan memperbanyak bacaan, kita bisa menambah wawasan, membuka pikiran, dan menyadarkan diri bagaimana masalah ini sangat perlu kita hadapi dan selesaikan secara bersama-sama. Bagaimana merugikannya ketimpangan gender bagi wanita maupun laki-laki. Jika kita tidak bisa mengubah orang lain, ubahlah diri sendiri terlebih dahulu. Hentikan stereotip bagaimana seorang wanita atau laki-laki harus bersikap, walaupun itu hanya sebatas candaan karena mungkin ada orang yang menganggapmu serius dan memang setuju dengan lelucon tersebut. Terakhir, kita bisa membantu sesama yang mengalami diskriminasi gender. Bantu mereka untuk keluar dari lingkungan dan/ masalah tersebut sebelum mereka lelah. Bantu mereka untuk bangkit lagi dan sadarkan kalau mereka layak mendapatkan apa yang banyak orang berusaha cegah untuk mendapatkan. Masih banyak yang bisa anda lakukan untuk menyelesaikan masalah ini. Jika semakin banyak orang sadar dan paham seberapa pentingnya masalah ini untuk diselesaikan, perlahan, kita bisa menciptakan lingkungan yang jauh lebih terbuka dengan peran gender yang lebih bebas. Ayo bersama-sama kita lawan diskriminasi gender!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline