Di media sosial sedang banyak beredar berita tentang seorang dokter residen yang sedang koma saat bertugas di Bajawa NTT. Penulis ingin sedikit berbagi cerita tentang seorang dokter khususnya seorang residen.
Dalam pikiran banyak orang, dokter itu adalah orang yang mempunyai banyak kelebihan uang sehingga memiliki apa yang bagi sebagian besar orang merupakan keinginan yang harus dipendam jauh dalam-dalam. Ada benarnya, tetapi lebih banyak itu merupakan asumsi dan dugaan saja.
Dokter sebagaimana profesi lain juga mempunyai stratifikasi yang bagi sebagian besar orang tidak dipahami. Bagi sebagian besar orang, jika seseorang menggunakan jas putih, dia adalah seorang dokter. Persepsi seperti ini sering dimanfaatkan oleh toko toko dan apotik yang menjual produk-produk yang berhubungan dengan kesehatan dan kecantikan. Ada di antaranya yang menggunakan blazer bewarna putih sehingga sepintas orang mengira mereka adalah dokter. Persepsi yang tidak keliru karena menyangkutkan profesi dengan pakaian. Tetapi kadang-kadang disalahmanfaatkan
Pada kesempatan ini penulis membahas dokter residen. Dokter residen adalah seorang dokter yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi seorang dokter spesialis. Bahasa resminya kalau di Indonesia adalah Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis dan disingkat menjadi PPDS. Kalau di luar negeri dikenal dengan nama Resident atau Registrar, dua istilah yang agak sedikit berbeda tetapi konsepnya sama sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis.
Dalam pikiran orang-orang bahwa seorang residen tentu saja lebih tinggi dari seorang dokter umum. Tidak salah memang persepsi tersebut. Seorang dokter umum biasanya bekerja di Puskesmas, klinik, dan di rumah sakit yang relatif lebih rendah. Sementara seorang residen bekerja (menjalani pendidikan) di rumah sakit yang besar atau sangat besar.
Dari sisi tempat saja jelas berbeda. Keluarga senang karena si dokter sudah pindah ke kota besar dari awalnya berada di pelosok desa bahkan ada yang sampai jalan kaki untuk mencapai puskesmas tempat tugasnya. Asumsi keluarga bahwa anaknya, menantunya, suaminya mulai lebih baik kondisinya dibandingkan pada waktu tugas didesa. Tentu saja disertai asumsi lain bahwa akan ada peningkatan rezeki bagi si dokter.
Inilah awal kekeliruan tersebut. Dari sisi tempat tugas si dokter jelas akan bertugas di rumah sakit besar, karena Pusat Pendidikan hanya ada di RS besar dan kota besar, sering sekali hanya ada di ibu kota provinsi . Tetapi dari sisi lain persepsi tersebut jelas salah.
Di Luar negeri, seorang residen dianggap bekerja di RS tempat dia bertugas dan akan digaji sesuai layaknya pendapatan seorang dokter. Mereka digaji oleh RS tempat mereka bertugas. Karena pada faktanya mereka memang bertugas di RS tersebut. Bekerja sambil belajar melebihi beban bagi mereka yang hanya bertugas. Di Malaysia seorang residen digaji sekitar Rp 20.000.000,-.
Di Indonesia seorang residen tidak dibayar (walaupun sudah ada UU 20 tahun 2013 yang menyatakan mereka mendapatkan insentif), mereka tidak mendapatkan jasa dari apa yang mereka kerjakan. Mereka bekerja dan dibayar hanya dengan “harapan”. Harapan akan menjadi spesialis sehingga bisa lebih memperbaiki kehidupan dirinya dan keluarga. Mereka merupakan tenaga kerja murah dan sangat menguntungkan bagi RS. Jika di RS tersebut ada residen, dokter spesialis di sana akan sangat terbantu dalam bekerja sehingga bisa lebih mempunyai waktu luang dibandingkan RS di mana tidak ada residen.
Sangat berat menjadi seorang residen karena mereka harus belajar sambil bekerja. Mereka tidak mempunyai waktu luang sehingga istri/suami dan anak-anak sering terabaikan. Di sinilah ujian pertama berawal, bagaimana meyakinkan pasangan hidup bahwa dia bekerja keras, belajar keras sehingga waktu dengan keluarga berkurang drastis sementara pendapatan merosot dibandingkan pada saat masih bertugas di puskesmas.
Berangkat pagi dari rumah, dilanjutkan dengan tugas jaga sampai pagi, dilanjutkan dengan kegiatan rutin, dilanjutkan dengan membereskan pasien-pasien jaga yang masih belum beres. Dua hari berturut-turut di RS tanpa istirahat adalah hal yang biasa. Pulang dengan mata merah dan begitu sampai di rumah langsung mencari tempat tidur. Anak-anak yang masih kecil-kecil sudah menunggu orang tua dengan harapan dapat bermain dan bercengkerama bersama. Tetapi yang mereka temui hanyalah seorang ayah/ibu yang berwajah letih, kusut, dan langsung mencari tempat tidur.