Lihat ke Halaman Asli

Maetong Hari (Memori Bulan Muharram)

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1414813661575336133

Bulan Muharram dan bulan November adalah bulan yang bersejarah buat aku dan luvband. Setahun yang lalu tepatnya pada tanggal 1 September 2013 terjadilah pertemuan keluarga membahas hari pernikahan dan disepakatilah tanggal 8 November untuk akad nikah dan tanggal 9 November untuk "baralek".

Kira-kira 2 hari setelah tanggal ditentukan, ada seorang teman yang mengingatkan bahwa tidak elok menikah di bulan Muharram apalagi pada tanggal-tanggal sebelum 10 Muharram karena dikhawatirkan rumah tangga tidak akan langgeng karena suasananya akan selalu panas.  Kepercayaan sebagian sesepuh, bulan Muharram identik dengan Bulan perang. Nah tanggal 9 November 2013 bertepatan dengan tanggal 5 Muharram 1435 H.

Awalnya aku, calon suami dan orang tua menanggapinya dengan santai. Bukankah semua hari adalah baik?

Sampai di suatu siang, papa bilang "Nak, ada baiknya kita pertimbangkan nasehat orang-orang tua. Tadi papa ke rumah Pak Agus (orang yang sudah dianggap sebagai bapak sendiri oleh papa) dan pak Agus bilang memang lebih baik tidak melangsungkan pernikahan di bulan Muharram. Baiknya kita percepat saja tanggal pernikahannya."

Ah syukurlah kalau keputusannya dipercepat karena khawatir juga kalau diundur malah mendatangkan fitnah karena selama ini aku dan calon suami menjaga masa perkenalan kami sedemikian rupa, hanya orang tua kedua belah pihak yang tahu. Kami tidak melewati proses seperti orang pacaran. Waktu lebih banyak dihabiskan untuk mengenal keluarga masing-masing.

[caption id="attachment_371195" align="aligncenter" width="300" caption="suasana maetong hari"]

14148139891921576180

[/caption]

Akhirnya, kedua pihak keluarga kembali berkumpul. Aku lupa tepatnya kapan pertemuan kedua itu dilangsungkan dan kedua belah pihak sepakat untuk memajukan tanggal pernikahan menjadi tanggal 18 Oktober 2013 dengan mempertimbangkan "bulan naik". Menurut kepercayaan yang berlaku dalam tatanan masyarakat Minangkabau, tanggal baik itu ada pada bulan naik bukan pada bulan turun. Sebagai anak kemenakan, kami menurut saja.

Tanggal 18 Oktober 2013 itu bertepatan dengan tanggal 13 Zulhijah 1434 H (bulan hampir sempurna). Pada saat itu terjadi diskusi yang sangat alot mengenai tanggal "baralek" (pesta), apakah tetap akan dilaksanakan pada tanggal 9 November atau dimajukan juga menjadi tanggal 19 Oktober? Hmm... aku dan calon suami sempat berpikir, ternyata untuk menikah saja tidak semudah yang dibayangkan. Inginnya sih melakukan syukuran saja tanpa pesta tapi orang tua punya harapan sendiri. Karena aku anak perempuan pertama, tak mungkin tak diadakan pesta, nanti malah jadi omongan. Ya sudahlah, kami menurut saja kalau itu bisa membahagiakan orang tua.

Maetong hari (menghitung hari) ada prosesnya sendiri. Kedua keluarga termasuk ninik mamak kemudian menyepakati tanggal baralek tetap seperti semula yaitu tanggal 9 November (ssst... sebenarnya kami memang telah memplot bulan November sebagai tanggal pernikahan kareana ada lagu November Rain di sana hehehe beda banget penentuan bulan antara kami dan para sesepuh).

Hmmm.... menunggu jeda antara tanggal 18 Oktober (setelah pernikahan) dan tanggal 10 November yang hampir tiga minggu sangatlah tidak mudah. Walaupun sudah sah sebagai suami isteri tapi masih belum bisa bebas sepenuhnya, masih harus menunggu sampai pesta usai. Momen menunggu inilah menjadikan bulan Muharram menjadi memori tersendiri .....

Dengan proses ini, aku dan suami jadi punya dua momen istimewa yaitu bulan Oktober dan bulan November atau bulan Zulhijah dan bulan Muharam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline